Monday, February 9, 2015

Sejarah Singkat Gender di Indonesia

       Berikut ulasan mengenai gender yang bisa menggambarkan bagaimana pentingnya peran wanita dalam pembangunan, meskipun ulasannya tidak terlalu komprehensif namun bisa memberikan sedikit gambaran akan studi gender sehingga kita mampu melihat keberadaan wanita sebagai salah satu subjek dalam pembangunan, tidak hanya objek pembangunan semata.


A.  SEJARAH

Woman in Development
Pada 1970-an, penelitian tentang petani Afrika mencatat bahwa, masih jauh dari kesetaraan jender, pembangunan tanpa melihat gender dapat membahayakan perempuan. Dari realisasi ini muncul pendekatan Perempuan dalam Pembangunan (WID), yang dibangun dengan argumentasi masalah pembangunan sebagai pengucilan perempuan dari proses pembangunan. Subordinasi perempuan terlihat seperti pengecualian dari pasar dan akses yang terbatas dan kontrol terhadap sumber daya. Kuncinya kemudian menempatkan perempuan dalam 'pembangunan oleh legislatif dan mencoba untuk membatasi diskriminasi dengan mempromosikan keterlibatan mereka dalam pendidikan dan pekerjaan.
Pendekatan WID menyebabkan sumber daya yang ditargetkan pada perempuan dan kontribusi produktif atau penghasilan yang signifikan lebih terlihat. Namun kontribusi reproduksi mereka kurang ditekankan. Sementara WID menganjurkan untuk kesetaraan gender yang lebih besar, tetapi tidak mengatasi masalah struktural yang nyata: peran gender yang tidak setara dan hubungan subordinasi jender dan eksklusi perempuan. Pendekatan ini juga berfokus pada apa yang telah disebut kebutuhan jender praktis, seperti memberikan akses yang lebih baik terhadap air, yang akan mengurangi jumlah perempuan dan anak perempuan yang menghabiskan dalam kegiatan domestik dan dengan demikian memungkinkan mereka lebih banyak waktu untuk pendidikan atau pekerjaan. Tidak ada pertanyaan mengapa mengumpulkan air telah dibangun sebagai tanggung jawab perempuan, atau mengapa peningkatan akses terhadap air adalah kebutuhan perempuan dan anak perempuan saja.

Woman and Development
Wanita dan Pembangunan (WPD) adalah pendekatan pembangunan yang ditujukan secara khusus kepada perempuan. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan perempuan agar turut serta dalam proses pembanguan secara serasi dan selaras sehingga memungkinkan perempuan mengejar ketinggalannya dari pria. Kegiatan pembangunan dalam pendekatan pembangunan WPD adalah berupa proyek-proyek khusus perempuan yang diarahkan pada upaya persolusian persoalan dan permasalahan perempuan.
Program dan proyek khusus perempuan dalam beberapa segi kehidupan masih diperlukan terutama mengingat kesenjangan antara pria dan perempuan masih sangat nyata. Untuk itu diperlukan perhatian dan penanganan secara khusus melalui proyek-proyek yang sasarannya hanya perempuan (Women Spesific Projects). Proyek-proyek untuk mengejar ketinggalan perempuan yang disebut proyek peningkatan peran perempuan atau disingkat P2W, sampai saat ini masih dilaksanakan khusus oleh beberapa Departemen dan lembaga-lembaga non departemen serta organisasinya kemasyarakat.

Gender and Development
Gender dan Pembangunan (JDP) adalah pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan aspirasi, kepentingan dan peran pria dan perempuan yang memungkinkan perempuan mengejar ketinggatannya dari pria dan sebagai upaya mengubah hubungan gender yang merugikan salah satu pihak menuju hubungan gender yang selaras dan serasi. Dalam pembangunan berdasarkan pendekatan gender dicegah terjadinya kesenjangan hak, kedudukan dan kesempatan berperan antara pria dan perempuan, serta sekaligus dihindari adanya upaya-upaya yang dapat merugikan pria atau perempuan. Sedangkan pelaksanaan pendekatan JDP diarahkan pada upaya pengubahan ketidakseimbangan hubungan kekuasaan antara pria dan perempuan dengan memperhatikan kebutuhan dan potensi masing-masing.

Gender Mainstreaming
Gender meanstreaming yakni suatu pendekatan pengarusutamaan gender dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan di segala bidang.

B.  INDIKATOR

Woman in Development
Konsep IPM pertama kali dipublikasikanUNDP melalui Human Development Report tahun 1996, yang kemudian berlanjut setiap tahun. Dalam publikasi ini pembangunan manusia didefinisikan sebagai “a process ofenlarging people’s choices” atau proses yang meningkatkan aspek kehidupan masyarakat. IPM diukur berdasarkan empat komponen, yaitu:

  1. Tingkat harapan hidup
  2. Tingkat melek huruf orang dewasa
  3. Rata-rata lama bersekolah
  4. Tingkat daya beli per kapita
Woman and Development
Indikator yang digunakan untuk melihat perempuan dan pembangunan adalah Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). IKM diukur berdasarkan lima komponen, yaitu:

  1. Kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun.
  2. Tingkat buta huruf orang dewasa.
  3. Persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada air yang aman untuk digunakan.
  4. Persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan.
  5. Persentase balita yang kurang makan
Gender and Development
Indikator yang digunakan untuk melihat jender dan pembangunan adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG). Indeks Pembangunan Gender (IPG) merupakan indikator yang mengukur pencapaian pembangunan manusia dengan mempertimbangkan aspek gender.

Komponen pembentuk tersebut sama dengan yang digunakan dalam pengukuran IPM, yakni angka harapan hidup (mewakili dimensi kesehatan), angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah (mewakili dimensi pengetahuan), serta sumbangan pendapatan (mewakili dimensi ekonomi) yang disajikan menurut jenis kelamin.
IPG diukur berdasarkan empat komponen, yaitu:

  1. Tingkat harapan hidup laki-laki dan perempuan
  2. Tingkat melek huruf orang dewasa laki-laki dan perempuan
  3. Rata-rata lama sekolah untuk laki - laki dan perempuan
  4. Perkiraan tingkat pendapatan laki - laki dan perempuan

Selain Indeks Pembangunan Gender (IPG), UNDP juga mengenalkan ukuran komposit lainnya yang terkait dengan gender, yakni Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang digunakan untuk mengukur persamaan peranan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. IDG menggambarkan besarnya peranan gender dalam bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Saat ini, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan telah mulai tampak hasilnya. IDG diukur berdasarkan tiga komponen, yaitu:

  1. Persentase jumlah anggota DPR dari laki-laki dan perempuan
  2. Persentase jumlah pegawai tingkat senior, manajer, profesional dan posisi teknis dari laki-laki dan perempuan
  3. Perkiraan tingkat pendapatan lakilaki dan perempuan

C.  Kesetaraan Gender di Indonesia

Gender  adalah  sifat  dan  perilaku  yang  dibentuk  secara  sosial  dan  dikenakan pada perempuan serta laki-laki. Selain memiliki dimensi budaya,  gender  juga mengandung dimensi politik. Pembedaan sifat dan perilaku yang  berdampak  pada  pembedaan  peran,  status,  posisi  dan  sebagainya,  merupakan  hasil  dari  relasi  kekuasaan  antara  jenis  kelamin  laki-laki  dan  jenis  kelamin  perempuan.

Sementara  itu,  menurut  Oakley,  gender  adalah  perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara  sosial,  yakni  perbedaan  yang  bukan  kodrat  atau  bukan  ketentuan  Tuhan  YME, melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui  proses  sosial  dan  kultural  yang  panjang.  Itulah  sebabnya,  gender  berubah  dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas ke kelas.

Gerakan  yang  memperjuangkan  kesetaraan  gender  pada  tingkat  internasional  bisa  dibilang  mulai  dikumandangkan  ke  seluruh  dunia  pada 1975 ketika dilangsungkan  World  Conference  of  the  International  Women’s  Year  di  Mexico  City  atas  prakarsa  PBB  pada  19  Juni-2  Juli  1975.  Konferensi  internasional  pertama  tentang  perempuan  itu  berhasil  mengidenifikasi  tiga isu  pokok,  yakni:  (a)  penyetaraan  gender  dan  penghapusan  diskriminasi gender,  (b)  pengintegrasian  dan  partisipasi  penuh  kaum  perempuan  dalam pembangunan,  serta  (c)  peningkatan  kontribusi  perempuan  dalam perdamaian dunia.

Tak  dapat  dipungkiri  bahwa  isu  perempuan  yang  tumbuh  dan menyita  perhatian  masyarakat  internasional  tidak  terlepas  dari  pengaruh feminisme  liberal  yang  berkembang  pesat  di  negara-negara  Barat  pada dasawarsa  1970-an.  Gerakan  tersebut memandang  bahwa  perubah an  status kaum perempuan hanya bisa diperoleh melalui perjuangan di dalam institusi negara.  Sekalipun  demikian,  para  pejuang  gerakan  ini  memandang  bahwa legitimasi  negara  tidak  perlu  dipertanyakan  dan  sistem  tidak  perlu dirombak. Pada saat yang sama lahir  slogan “the  personal  is  political”. Inti dari slogan  populer  yang  didengungkan  oleh  feminisme  gelombang  kedua  itu adalah  “gugatan”  terhadap  nilai-nilai  fundamental  paradigma  liberal  yang memisahkan  secara  tegas  antara  ranah  publik  dengan  ranah  privat.  Ranah privat, menurut  paradigma  liberal, merupakan  ranah  nonpolitis  yang  bebas sama  sekali  dari  setiap  campur  tangan  negara.  Sebaliknya,  dengan  pesan yang  dikandung  slogan  terkenal  itu:  ranah  publik  dan  ranah  privat sesungguhnya  dapat  dipertautkan  dengan  konsep  “the  personal  is  political”, semua yang terjadi di ranah privat adalah juga suatu proses sosio-politik.

Implikasi  dari  pertautan  antara  ranah  negara  dan  ranah  privat  dapat terlihat dari bagaimana strategi “berbagi beban” (burden sharing) antara negara dengan  lembaga-lembaga  non-negara  atau  kelompok  masyarakat  dalam upaya  memberdayakan  kaum  perempuan  sebagai  salah  satu  kiat mempersempit kesenjangan berdimensi  gender. Contoh menarik yang dapat dikemukakan  adalah  ketika  BKKBN  memberikan  bantuan  secara  langsung kepada  lembaga-lembaga  swadaya  masyarakat  dalam  pemberdayaan masyarakat atau program serupa lainnya.

Di  Indonesia,  perjuangan  menciptakan  kesetaraan  gender  diawali dengan  gerakan  yang  pro-perempuan.  Ini tentu  saja  sangat  berbeda  dengan perjuangan untuk  tujuan yang sama yang dikumandangkan dan dilancarkan di negara-negara Barat. Selain itu, titik tekan perjuangan lebih pada dimensi di luar politik secara langsung, yakni dimensi ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya,  berbeda  dengan  cara  Barat  yang  dalam  beberapa  hal  terkadang lebih condong pada dimensi politik. Sekalipun  demikian,  dapat  dikatakan  bahwa  “pendekatan  Indonesia‟ dan  Barat  mengandung  kesamaan  persepsi  di  mana  keduanya  memandang bahwa keterlibatan perempuan di dalam ranah publik merupakan   salah satu indikator  keberhasilan  pembangunan  kesetaraan  gender  pada  khususnya dan  pembangunan  pada  umumnya.  Demikian  pula,  diyakini  bahwa  peran peran  gender  tradisional  yang  berganti  mengikuti  perubahan  konsep keluarga  ideal  sebetulnya  merupakan  konsekuensi  atau  rasionalisasi terhadap  proses  industrialisasi.  Sebagaimana  diketahui,  salah  satu konsekuensi  industrialisasi  adalah  kaum  perempuan  makin  banyak diikutsertakan dan melibatkan diri di dalam kegiatan ekonomi.

Akan  tetapi,  harus  diingat  bahwa  sekalipun  partisipasi  perempuan kelihatan  mengalami  peningkatan,  sebagian  besar  pengamat  menganggap bahwa  perempuan,  dalam  banyak  hal,  tetap  sebagai  pihak  yang  dirugikan dalam  proses  pembangunan.  Salah  satu  penyebabnya  adalah  karena model - model  pembangunan  yang  dirancang  dan  dipergunakan  tidak  selalu memperhatikan  relasi  yang  ada  di  antara  perempuan  dan  laki-laki. Akibatnya,  proses  pembangunan  yang  terus  berjalan  tidak  menghasilkan kesetaraan  gender,  bahkan  dalam  beberapa  kasus,  proses  tersebut  justru mengurangi  peran  signifikan  perempuan  di  dalam  komunitasnya  masing - masing.

Di  Indonesia,  pergerakan  kaum  perempuan  mulai  menggema  sebagian besar karena dibuka oleh pikiran RA Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi  perempuan  mulai  tahun  1912. Kegiatan  mereka  pada awalnya  menekankan  pendidikan  yang  membuka  cakrawala  kaum perempuan,  misalnya  memasak,  merawat  anak,  melayani  suami,  menjahit, dan lain-lain. Lebih jauh dari  itu, mereka memberikan pula kesadaran  yang belakangan  disebut  sebagai  “emansipasi  wanita”,  bahwa  kaum  perempuan sederajat  dengan  kaum  laki-laki.  Oleh  Soekarno  ini  disebut  dengan  istilah “menyempurnakan keperempuanannya”.
Sejak  itu,  kaum  perempuan  Indonesia  melangkah  memasuki  periode demi periode. Setelah proklamasi kemerdekaan, k aum perempuan tadi yang tergabung  di  dalam  berbagai  organisasi  masing-masing,  bahu  membahu bersama  pejuang  lain mempertahankan  kemerdekaan.  Tetapi,  kemerdekaan politik untuk bangsa dan negara belum memperlihatkan perubahan tatanan masyarakat  yang  mau  secara  sukarela  mendudukkan  perempuan  dan  laki - laki  secara  lebih  setara.  Mereka  pun  kembali  bergerak  membangun organisasi.  Ada  yang  “menyempurnakan  keperempuanannya”  dengan melanjutkan model Fujinkai.

Ada yang menuntut persamaan dalam hukum dan  politik  dengan  model  organisasi  yang  sedikit  banyak  berkait  atau  di bawah  partai  politik,  meskipun  ada  pula  yang  mengklaim  diri  sebagai organisasi otonom atau independen. Ada yang mendirikan organisasi profesi untuk  kepentingan  kemajuan  profesi  mereka.  Ada  pula  yang  melakukan semua  kegiatan  yang  mewakili  kepentingan  kaum  perempuan  dari  tingkat massa sampai elit. Fenomena ini marak di sepanjang dekade 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an.

Gerakan perempuan di Indonesia dinilai mengalami arus balik tatkala Gerwani  (Gerakan  Wanita  Indonesia)  dihancurkan  pemerintah  pada  akhir 1965 karena dianggap pro-PKI. Setelah itu, organisasi-organisasi perempuan masuk  ke  dalam  Orde  Baru  dan  menjadi  organisasi  fungsional.  Perwari (Persatuan  Wanita  Republik  Indonesia)  yang  pernah  sangat   artikulatif menentang  Presiden  Soekarno  berpoligami,  kini  tinggal  sebagai  organisasi yang  terutama  beranggotakan  istri-istri  pegawai  dengan  kegiatan  yang mengarah pada kesejahteraan keluarga kelas menengah dan atas. Sedangkan Wanita  Demokrat,  yang  sebelumnya  mempunyai  kegiatan  bergaris  massa dan  berhubungan  erat  dengan  Partai  Nasional  Indonesia  (PNI), menunjukkan  keadaan  serupa  setelah  PNI  difusikan  ke  dalam  Partai Demokrasi  Indonesia  (PDI).  Dari  sejumlah  perkembangan  tersebut  tampak jelas  bahwa  organisasi  perempuan  di  Indonesia  mengalami  proses domestikasi,  dengan  implikasi  terjadinya  penjinakan,  segregasi,  dan depolitisasi.

Di  lain  pihak,  kelompok  organisasi  LSM  mengunakan  perspektif feminisme sebagai metode untuk menjawab berbagai  persoalan perempuan. Sekalipun  demikian,  bisa  dikatakan  bahwa  dasar-dasar  politik  feminisme umumnya belum diambil sebagai sikap politik organisasi, selain soal feminis itu  sendiri  lebih  jelas  terlihat  dalam  sikap  pribadi  saat  melihat  persoalan persoalan  perempuan,  misalnya  ketika  menganalisis  ketimpangan  gender.

Hal ini menimbulkan kekaburan dalam hal bagaimana organisasi perempuan menjawab  persoalan.  Awalnya,  digunakan  pendekatan  woman  in  development (WID)  yang  berasumsi  bahwa  banyak  peraturan  yang  tidak  menyertakan perempuan  dalam  pembangunan  sebagai  bagian  dari  proses  pembangunan itu  sendiri.  Masalahnya,  absennya  perempuan  menjadikan  mereka termarjinalkan  dalam  berbagai  perubahan  yang  diakibatkan  oleh pembangunan.  Dengan  demikian,  pendekatan  ini  melihat  persoalan perempuan  dari  peran  yang  dilakukan  oleh  kaum  perempuan  itu  sendiri.

serta memberi solusi pada aspek kerja produktif perempuan dan perubahan perilaku. Karena logika pendekaran WID ini terus mendapat kritik, maka mulai diperkenalkan  pendekatan  baru  yang  disebut  gender  and  development  (GAD) yang mempersoalkan hubungan kuasa antara laki-laki dan perem puan (relasi gender)  dalam  masyarakat.  Sekalipun  demikian,  program  pemenuhan kebutuhan  praktis  (pokok)  GAD  berprinsip  serupa  dengan  program pendekatan WID untuk memenuhi tiga kebutuhan kaum perempuan, yakni fungsi  reproduksi,  kegiatan  produktif,  dan  kegiatan  komunitas.  Untuk memenuhi  kebutuhan  strategis,  GAD  antara  lain  melakukan  metode pemberdayaan  kaum  perempuan  melalui—mengutip  Kathie  Sarachild—consciousness  raising,  menyatukan  pengalaman  anggota  kelompok  perempuan untuk membuat mereka sadar akan diskriminasi yang sedang berjalan.

Akan  tetapi,  satu hal  yang  mungkin menarik  untuk  dicermati  adalah bahwa  sekalipun  gerakan  kaum  perempuan,  dalam  soal  kesetaraan  gender, terus menggema ke seluruh pelosok dunia, di negara-negara berkembang isu yang  justru  lebih  dominan,  sekurang-kurangnya  pada  dasawarsa  1970-an, adalah  tekanan  kepada  integrasi  sepenuhnya  dari  kaum  perempuan  dalam usaha pembangunan daripada persamaan antara kaum perempuan dan laki-laki.

Ini  sebetulnya  mirip  dengan  fenomena  yang  terjadi  di  negara-negara miskin—mungkin  pula  di  Indonesia—di  mana  kaum  perempuan  lebih tertarik  untuk  mendorong  agar  diadakan  perubahan -perubahan  ekonomi dan  sosial  sehingga  perempuan  maupun  laki-laki  dapat  melarikan  diri  dari kehidupan  dalam  kelaparan,  ketidaktahuan,  dan  kemiskinan.  Ini  sangat berbeda  dengan  isu  yang  dipersoalkan  oleh  kaum  feminis  di  negara-negara Industri Barat. Sebenarnya,  perbedaan  gender  itu  sendiri,  seperti  telah  diuraikan  di atas,  tidak  menjadi  masalah  sepanjang  tidak  melahirkan  ketidakadilan gender  (gender  inequalities ). Akan  tetapi,  pengalaman  membuktikan  bahwa perbedaan gender  (gender differences) telah melahirkan sejumlah ketidakadilan gender  tersebut.  Sehingga  wajar  saja  jika  ada  yang  mengatakan  bahwa kesetaraan gender masih sebatas wacana. Itulah sebabnya tak mengherankan jika perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan  gender  akan terus berproses karena persepsi tentang  gender  itu sendiri boleh jadi akan selalu melahirkan tafsir-tafsir baru yang muncul berkenaan dengan semangat zaman yang ada.

Maka,  tepatlah  jika  dikatakan,  bahwa  perjuangan  emansipasi  perempuan, khususnya  perempuan  Indonesia,  masih  merupakan  suatu  keharusan praktis. Mungkin  karena  pertimbangan  itulah,  Prof.  Haryono  Suyono misalnya,  lebih  tertarik  dengan  upaya-upaya  nyata  yang  dapat  langsung dinikmati  kaum  perempuan  dalam  perjalanannya  menuju  pemberdayaan. Dalam hal ini, ia tidak hanya melakukan penjelajahan pada  wilayah praktis akan tetapi juga pada  wilayah teoretis dengan mendesiminasikan gagasan gagasan  pemberdayaan  perempuan  lewat  berbagai  tulisan  seperti  telah dipublikaskan  pada  berbagai  media  massa.  Kesetaran  gender  menurutnya, tidak  lain  adalah  terbukanya  kesempatan  yang  luas  bagi  kaum  perempuan dalam  menghayati  nilai-nilai  luhur  budaya  bangsa  yang  terkandung  dalam Pancasila.  Dengan  pemberdayaan  itu,  kaum  perempuan  dapat  ikut  serta dalam  pembangunan,  menghayati  usaha  hidup  lebih  lestari,  yang  dengan sendirinya terjamin hak asasinya untuk bisa hidup dengan penuh prakarsa, produktif,  bisa  menikmati  kehormatan  pribadi  serta  diakui  oleh masyarakat.

Sementara  itu,  pada  kesempatan  yang  lain,  Sedarmayanti  mencoba untuk  memetakan  dimensi  kesetaraan  gender  atau  apa  yang  disebut kemitrasejajaran  antara  perempuan  dan  laki-laki.  Menurutnya, kemitrasejajaran  antara  laki-laki  dan  perempuan  dapat  dilakukan  dalam beberapa  dimensi,  yakni  dalam  keluarga,  kehidupan  masyarakat,  dan kehidupan berbangsa dan bernegara.


Daftar Pustaka
Amin,  Samir,  Accumulation  on  a  World  Scale  a  Critique  of  the  Theory  of Underdevelopment,  Vol.1  and  Vol.2  Combined  (New  York -London: Monthly Review Press, 1974).
Elizabeth, R. 2007. Woman Empowerment to Support Gender Mainstreaming in Rural Agricultural Development Policies. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 25 No. 2 : 126-135.
Fakih,  Mansour,  Analisis  Gender  dan  Transformasi  Sosial  (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 1996).
Hadiz, Liza, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004).Husken,  Frans  et.  al  (editor),  Pembangunan  dan  Kesejahteraan  Sosial  Indonesia  di Bawah Orde Baru (Jakarta: Grasindo, 1997).
Oey-Gardiner,  Mayling  (editor),  Perempuan  Indonesia:  Dulu  dan  Kini  (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Parawansa, K.I. 1998. Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Kebijakan Bank Mengenai Gender dan Pembangunan. World Bank.
Prijono,  Onny  S  dan  A.M.W.  Pranarka  (Penyunting),  Pemberdayaan:  Konsep, Kebijakan  dan  Implementasi  (Jakarta:  Centre  for  Strategic  and International Studies, 1996).
Sun, Tsai-Wei. 2005. Gender Representation In Politics and Public Administration: Taiwan and Asian Countries. Singapore : National University of Singapore.
Suyono,  Haryono,  Pendidikan  Perempuan  Aset  Bangsa,  (Jakarta:  Yayasan Damandiri, 2003).

No comments:

Post a Comment

Sila tinggalkan komentar. Nuwun.