Berikut ulasan mengenai gender yang bisa menggambarkan bagaimana pentingnya peran wanita dalam pembangunan, meskipun ulasannya tidak terlalu komprehensif namun bisa memberikan sedikit gambaran akan studi gender sehingga kita mampu melihat keberadaan wanita sebagai salah satu subjek dalam pembangunan, tidak hanya objek pembangunan semata.
A. SEJARAH
Woman in
Development
Pada 1970-an, penelitian tentang petani
Afrika mencatat bahwa, masih jauh dari kesetaraan jender, pembangunan tanpa
melihat gender dapat membahayakan perempuan. Dari realisasi ini muncul
pendekatan Perempuan dalam Pembangunan (WID), yang dibangun dengan argumentasi masalah
pembangunan sebagai pengucilan perempuan dari proses pembangunan. Subordinasi
perempuan terlihat seperti pengecualian dari pasar dan akses yang terbatas dan
kontrol terhadap sumber daya. Kuncinya kemudian menempatkan perempuan dalam
'pembangunan oleh legislatif dan mencoba untuk membatasi diskriminasi dengan
mempromosikan keterlibatan mereka dalam pendidikan dan pekerjaan.
Pendekatan WID menyebabkan sumber daya yang
ditargetkan pada perempuan dan kontribusi produktif atau penghasilan yang
signifikan lebih terlihat. Namun kontribusi reproduksi mereka kurang
ditekankan. Sementara WID menganjurkan untuk kesetaraan gender yang lebih
besar, tetapi tidak mengatasi masalah struktural yang nyata: peran gender yang
tidak setara dan hubungan subordinasi jender dan eksklusi perempuan. Pendekatan
ini juga berfokus pada apa yang telah disebut kebutuhan jender praktis, seperti
memberikan akses yang lebih baik terhadap air, yang akan mengurangi jumlah
perempuan dan anak perempuan yang menghabiskan dalam kegiatan domestik dan
dengan demikian memungkinkan mereka lebih banyak waktu untuk pendidikan atau
pekerjaan. Tidak ada pertanyaan mengapa mengumpulkan air telah dibangun sebagai
tanggung jawab perempuan, atau mengapa peningkatan akses terhadap air adalah
kebutuhan perempuan dan anak perempuan saja.
Woman and
Development
Wanita dan Pembangunan (WPD) adalah
pendekatan pembangunan yang ditujukan secara khusus kepada perempuan. Tujuan
yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan perempuan agar turut
serta dalam proses pembanguan secara serasi dan selaras sehingga memungkinkan
perempuan mengejar ketinggalannya dari pria. Kegiatan pembangunan dalam
pendekatan pembangunan WPD adalah berupa proyek-proyek khusus perempuan yang
diarahkan pada upaya persolusian persoalan dan permasalahan perempuan.
Program dan proyek khusus perempuan dalam
beberapa segi kehidupan masih diperlukan terutama mengingat kesenjangan antara
pria dan perempuan masih sangat nyata. Untuk itu diperlukan perhatian dan
penanganan secara khusus melalui proyek-proyek yang sasarannya hanya perempuan
(Women Spesific Projects). Proyek-proyek untuk mengejar ketinggalan perempuan
yang disebut proyek peningkatan peran perempuan atau disingkat P2W, sampai saat
ini masih dilaksanakan khusus oleh beberapa Departemen dan lembaga-lembaga non
departemen serta organisasinya kemasyarakat.
Gender and
Development
Gender dan Pembangunan (JDP) adalah
pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan aspirasi, kepentingan dan peran
pria dan perempuan yang memungkinkan perempuan mengejar ketinggatannya dari
pria dan sebagai upaya mengubah hubungan gender yang merugikan salah satu pihak
menuju hubungan gender yang selaras dan serasi. Dalam pembangunan berdasarkan
pendekatan gender dicegah terjadinya kesenjangan hak, kedudukan dan kesempatan
berperan antara pria dan perempuan, serta sekaligus dihindari adanya
upaya-upaya yang dapat merugikan pria atau perempuan. Sedangkan pelaksanaan
pendekatan JDP diarahkan pada upaya pengubahan ketidakseimbangan hubungan
kekuasaan antara pria dan perempuan dengan memperhatikan kebutuhan dan potensi
masing-masing.
Gender
Mainstreaming
Gender meanstreaming yakni suatu pendekatan
pengarusutamaan gender dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
program pembangunan di segala bidang.
B. INDIKATOR
Woman
in Development
Konsep IPM pertama kali
dipublikasikanUNDP melalui Human Development Report tahun 1996, yang kemudian
berlanjut setiap tahun. Dalam publikasi ini pembangunan manusia didefinisikan
sebagai “a process ofenlarging people’s
choices” atau proses yang meningkatkan aspek kehidupan masyarakat. IPM diukur berdasarkan empat komponen, yaitu:
- Tingkat harapan hidup
- Tingkat melek huruf orang dewasa
- Rata-rata lama bersekolah
- Tingkat daya beli per kapita
Woman
and Development
Indikator yang digunakan untuk
melihat perempuan dan pembangunan adalah Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). IKM diukur berdasarkan lima
komponen, yaitu:
- Kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun.
- Tingkat buta huruf orang dewasa.
- Persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada air yang aman untuk digunakan.
- Persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan.
- Persentase balita yang kurang makan
Gender
and Development
Indikator yang digunakan untuk
melihat jender dan pembangunan adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG). Indeks
Pembangunan Gender (IPG) merupakan indikator yang mengukur pencapaian
pembangunan manusia dengan mempertimbangkan aspek gender.
Komponen pembentuk tersebut sama dengan yang digunakan dalam pengukuran IPM, yakni angka harapan hidup (mewakili dimensi kesehatan), angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah (mewakili dimensi pengetahuan), serta sumbangan pendapatan (mewakili dimensi ekonomi) yang disajikan menurut jenis kelamin.
IPG diukur berdasarkan empat
komponen, yaitu:
- Tingkat harapan hidup laki-laki dan perempuan
- Tingkat melek huruf orang dewasa laki-laki dan perempuan
- Rata-rata lama sekolah untuk laki - laki dan perempuan
- Perkiraan tingkat pendapatan laki - laki dan perempuan
Selain Indeks Pembangunan
Gender (IPG), UNDP juga mengenalkan ukuran komposit lainnya yang terkait dengan
gender, yakni Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang digunakan untuk mengukur
persamaan peranan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan ekonomi,
politik dan pengambilan keputusan. IDG menggambarkan besarnya peranan gender
dalam bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Saat ini, upaya yang
telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong kesetaraan gender di berbagai
bidang kehidupan telah mulai tampak hasilnya. IDG diukur berdasarkan tiga
komponen, yaitu:
- Persentase jumlah anggota DPR dari laki-laki dan perempuan
- Persentase jumlah pegawai tingkat senior, manajer, profesional dan posisi teknis dari laki-laki dan perempuan
- Perkiraan tingkat pendapatan lakilaki dan perempuan
C. Kesetaraan Gender di Indonesia
Gender adalah
sifat dan perilaku
yang dibentuk secara
sosial dan dikenakan pada perempuan serta laki-laki.
Selain memiliki dimensi budaya, gender juga mengandung dimensi politik. Pembedaan
sifat dan perilaku yang berdampak pada
pembedaan peran, status,
posisi dan sebagainya, merupakan
hasil dari relasi
kekuasaan antara jenis
kelamin laki-laki dan jenis kelamin
perempuan.
Sementara itu,
menurut Oakley, gender
adalah perbedaan perilaku antara
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial,
yakni perbedaan yang
bukan kodrat atau
bukan ketentuan Tuhan YME,
melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses
sosial dan kultural
yang panjang. Itulah
sebabnya, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat,
bahkan dari kelas ke kelas.
Gerakan yang
memperjuangkan kesetaraan gender
pada tingkat internasional
bisa dibilang mulai
dikumandangkan ke seluruh
dunia pada 1975 ketika
dilangsungkan World Conference of
the International Women’s
Year di Mexico
City atas prakarsa
PBB pada 19
Juni-2 Juli 1975.
Konferensi internasional pertama
tentang perempuan itu
berhasil mengidenifikasi tiga isu
pokok, yakni: (a)
penyetaraan gender dan
penghapusan diskriminasi gender, (b)
pengintegrasian dan partisipasi
penuh kaum perempuan
dalam pembangunan, serta (c) peningkatan kontribusi
perempuan dalam perdamaian dunia.
Tak dapat
dipungkiri bahwa isu
perempuan yang tumbuh
dan menyita perhatian masyarakat
internasional tidak terlepas
dari pengaruh feminisme liberal
yang berkembang pesat
di negara-negara Barat
pada dasawarsa 1970-an. Gerakan
tersebut memandang bahwa perubah an
status kaum perempuan hanya bisa diperoleh melalui perjuangan di dalam
institusi negara. Sekalipun demikian,
para pejuang gerakan
ini memandang bahwa legitimasi negara
tidak perlu dipertanyakan
dan sistem tidak
perlu dirombak. Pada saat yang sama lahir slogan “the personal
is political”. Inti dari slogan populer
yang didengungkan oleh
feminisme gelombang kedua
itu adalah “gugatan” terhadap
nilai-nilai fundamental paradigma
liberal yang memisahkan secara
tegas antara ranah
publik dengan ranah
privat. Ranah privat,
menurut paradigma liberal, merupakan ranah
nonpolitis yang bebas sama
sekali dari setiap
campur tangan negara.
Sebaliknya, dengan pesan yang
dikandung slogan terkenal
itu: ranah publik
dan ranah privat sesungguhnya dapat
dipertautkan dengan konsep
“the personal
is political”, semua yang
terjadi di ranah privat adalah juga suatu proses sosio-politik.
Implikasi dari
pertautan antara ranah
negara dan ranah
privat dapat terlihat dari
bagaimana strategi “berbagi beban” (burden sharing) antara negara dengan lembaga-lembaga non-negara
atau kelompok masyarakat
dalam upaya memberdayakan kaum
perempuan sebagai salah
satu kiat mempersempit
kesenjangan berdimensi gender. Contoh
menarik yang dapat dikemukakan
adalah ketika BKKBN
memberikan bantuan secara
langsung kepada
lembaga-lembaga swadaya masyarakat
dalam pemberdayaan masyarakat
atau program serupa lainnya.
Di Indonesia,
perjuangan menciptakan kesetaraan
gender diawali dengan gerakan
yang pro-perempuan. Ini tentu
saja sangat berbeda
dengan perjuangan untuk tujuan
yang sama yang dikumandangkan dan dilancarkan di negara-negara Barat. Selain
itu, titik tekan perjuangan lebih pada dimensi di luar politik secara langsung,
yakni dimensi ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya, berbeda
dengan cara Barat
yang dalam beberapa
hal terkadang lebih condong pada
dimensi politik. Sekalipun
demikian, dapat dikatakan
bahwa “pendekatan Indonesia‟ dan Barat
mengandung kesamaan persepsi
di mana keduanya
memandang bahwa keterlibatan perempuan di dalam ranah publik
merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan kesetaraan gender
pada khususnya dan pembangunan
pada umumnya. Demikian
pula, diyakini bahwa
peran peran gender tradisional
yang berganti mengikuti
perubahan konsep keluarga ideal
sebetulnya merupakan konsekuensi
atau rasionalisasi terhadap proses
industrialisasi. Sebagaimana diketahui,
salah satu konsekuensi industrialisasi adalah
kaum perempuan makin
banyak diikutsertakan dan melibatkan diri di dalam kegiatan ekonomi.
Akan tetapi,
harus diingat bahwa
sekalipun partisipasi perempuan kelihatan mengalami
peningkatan, sebagian besar
pengamat menganggap bahwa perempuan,
dalam banyak hal,
tetap sebagai pihak
yang dirugikan dalam proses
pembangunan. Salah satu
penyebabnya adalah karena model - model pembangunan
yang dirancang dan
dipergunakan tidak selalu memperhatikan relasi
yang ada di
antara perempuan dan
laki-laki. Akibatnya, proses pembangunan
yang terus berjalan
tidak menghasilkan kesetaraan gender,
bahkan dalam beberapa
kasus, proses tersebut
justru mengurangi peran signifikan
perempuan di dalam
komunitasnya masing - masing.
Di Indonesia,
pergerakan kaum perempuan
mulai menggema sebagian besar karena dibuka oleh pikiran RA
Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan
mulai tahun 1912. Kegiatan mereka
pada awalnya menekankan pendidikan
yang membuka cakrawala
kaum perempuan, misalnya memasak,
merawat anak, melayani
suami, menjahit, dan lain-lain.
Lebih jauh dari itu, mereka memberikan
pula kesadaran yang belakangan disebut
sebagai “emansipasi wanita”,
bahwa kaum perempuan sederajat dengan
kaum laki-laki. Oleh
Soekarno ini disebut
dengan istilah “menyempurnakan
keperempuanannya”.
Sejak itu,
kaum perempuan Indonesia
melangkah memasuki periode demi periode. Setelah proklamasi
kemerdekaan, k aum perempuan tadi yang tergabung di
dalam berbagai organisasi masing-masing,
bahu membahu bersama pejuang
lain mempertahankan
kemerdekaan. Tetapi, kemerdekaan politik untuk bangsa dan negara
belum memperlihatkan perubahan tatanan masyarakat yang
mau secara sukarela
mendudukkan perempuan dan
laki - laki secara lebih
setara. Mereka pun
kembali bergerak membangun organisasi. Ada
yang “menyempurnakan keperempuanannya” dengan melanjutkan model Fujinkai.
Ada
yang menuntut persamaan dalam hukum dan
politik dengan model
organisasi yang sedikit
banyak berkait atau
di bawah partai politik,
meskipun ada pula yang mengklaim
diri sebagai organisasi otonom
atau independen. Ada yang mendirikan organisasi profesi untuk kepentingan
kemajuan profesi mereka.
Ada pula yang
melakukan semua kegiatan yang
mewakili kepentingan kaum
perempuan dari tingkat massa sampai elit. Fenomena ini marak
di sepanjang dekade 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an.
Gerakan
perempuan di Indonesia dinilai mengalami arus balik tatkala Gerwani (Gerakan
Wanita Indonesia) dihancurkan
pemerintah pada akhir 1965 karena dianggap pro-PKI. Setelah
itu, organisasi-organisasi perempuan masuk
ke dalam Orde
Baru dan menjadi
organisasi fungsional. Perwari (Persatuan Wanita
Republik Indonesia) yang
pernah sangat artikulatif menentang Presiden
Soekarno berpoligami, kini
tinggal sebagai organisasi yang terutama
beranggotakan istri-istri pegawai
dengan kegiatan yang mengarah pada kesejahteraan keluarga
kelas menengah dan atas. Sedangkan Wanita
Demokrat, yang sebelumnya
mempunyai kegiatan bergaris
massa dan berhubungan erat
dengan Partai Nasional
Indonesia (PNI), menunjukkan keadaan
serupa setelah PNI
difusikan ke dalam
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dari sejumlah perkembangan
tersebut tampak jelas bahwa
organisasi perempuan di
Indonesia mengalami proses domestikasi, dengan
implikasi terjadinya penjinakan,
segregasi, dan depolitisasi.
Di lain
pihak, kelompok organisasi
LSM mengunakan perspektif feminisme sebagai metode untuk
menjawab berbagai persoalan perempuan. Sekalipun demikian,
bisa dikatakan bahwa
dasar-dasar politik feminisme umumnya belum diambil sebagai sikap
politik organisasi, selain soal feminis itu
sendiri lebih jelas
terlihat dalam sikap
pribadi saat melihat
persoalan persoalan
perempuan, misalnya ketika
menganalisis ketimpangan gender.
Hal
ini menimbulkan kekaburan dalam hal bagaimana organisasi perempuan menjawab persoalan.
Awalnya, digunakan pendekatan
woman in
development (WID) yang berasumsi
bahwa banyak peraturan
yang tidak menyertakan perempuan dalam
pembangunan sebagai bagian
dari proses pembangunan itu sendiri.
Masalahnya, absennya perempuan
menjadikan mereka
termarjinalkan dalam berbagai
perubahan yang diakibatkan
oleh pembangunan. Dengan demikian,
pendekatan ini melihat
persoalan perempuan dari peran
yang dilakukan oleh
kaum perempuan itu
sendiri.
serta
memberi solusi pada aspek kerja produktif perempuan dan perubahan perilaku. Karena
logika pendekaran WID ini terus mendapat kritik, maka mulai diperkenalkan pendekatan
baru yang disebut
gender and
development (GAD) yang
mempersoalkan hubungan kuasa antara laki-laki dan perem puan (relasi gender) dalam
masyarakat. Sekalipun demikian,
program pemenuhan kebutuhan praktis
(pokok) GAD berprinsip
serupa dengan program pendekatan WID untuk memenuhi tiga kebutuhan
kaum perempuan, yakni fungsi
reproduksi, kegiatan produktif,
dan kegiatan komunitas.
Untuk memenuhi kebutuhan strategis,
GAD antara lain
melakukan metode
pemberdayaan kaum perempuan
melalui—mengutip Kathie Sarachild—consciousness raising,
menyatukan pengalaman anggota
kelompok perempuan untuk membuat
mereka sadar akan diskriminasi yang sedang berjalan.
Akan tetapi,
satu hal yang mungkin menarik untuk
dicermati adalah bahwa sekalipun
gerakan kaum perempuan,
dalam soal kesetaraan
gender, terus menggema ke seluruh pelosok dunia, di negara-negara
berkembang isu yang justru lebih
dominan, sekurang-kurangnya pada
dasawarsa 1970-an, adalah tekanan
kepada integrasi sepenuhnya
dari kaum perempuan
dalam usaha pembangunan daripada persamaan antara kaum perempuan dan
laki-laki.
Ini sebetulnya
mirip dengan fenomena
yang terjadi di
negara-negara miskin—mungkin
pula di Indonesia—di
mana kaum perempuan
lebih tertarik untuk mendorong
agar diadakan perubahan -perubahan ekonomi dan
sosial sehingga perempuan
maupun laki-laki dapat melarikan
diri dari kehidupan dalam
kelaparan, ketidaktahuan, dan
kemiskinan. Ini sangat berbeda dengan
isu yang dipersoalkan
oleh kaum feminis
di negara-negara Industri Barat. Sebenarnya, perbedaan
gender itu sendiri,
seperti telah diuraikan
di atas, tidak menjadi
masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities ). Akan tetapi,
pengalaman membuktikan bahwa perbedaan gender (gender differences) telah melahirkan
sejumlah ketidakadilan gender
tersebut. Sehingga wajar
saja jika ada yang mengatakan
bahwa kesetaraan gender masih sebatas wacana. Itulah sebabnya tak
mengherankan jika perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender
akan terus berproses karena persepsi tentang gender
itu sendiri boleh jadi akan selalu melahirkan tafsir-tafsir baru yang
muncul berkenaan dengan semangat zaman yang ada.
Maka, tepatlah
jika dikatakan, bahwa
perjuangan emansipasi perempuan, khususnya perempuan
Indonesia, masih merupakan
suatu keharusan praktis. Mungkin karena
pertimbangan itulah, Prof.
Haryono Suyono misalnya, lebih
tertarik dengan upaya-upaya
nyata yang dapat
langsung dinikmati kaum perempuan
dalam perjalanannya menuju
pemberdayaan. Dalam hal ini, ia tidak hanya melakukan penjelajahan
pada wilayah praktis akan tetapi juga
pada wilayah teoretis dengan
mendesiminasikan gagasan gagasan
pemberdayaan perempuan lewat
berbagai tulisan seperti
telah dipublikaskan pada berbagai
media massa. Kesetaran
gender menurutnya, tidak lain
adalah terbukanya kesempatan
yang luas bagi
kaum perempuan dalam menghayati
nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang terkandung
dalam Pancasila. Dengan pemberdayaan
itu, kaum perempuan
dapat ikut serta dalam
pembangunan, menghayati usaha
hidup lebih lestari,
yang dengan sendirinya terjamin
hak asasinya untuk bisa hidup dengan penuh prakarsa, produktif, bisa
menikmati kehormatan pribadi
serta diakui oleh masyarakat.
Sementara itu,
pada kesempatan yang
lain, Sedarmayanti mencoba untuk
memetakan dimensi kesetaraan
gender atau apa
yang disebut kemitrasejajaran antara
perempuan dan laki-laki.
Menurutnya, kemitrasejajaran
antara laki-laki dan perempuan
dapat dilakukan dalam beberapa dimensi,
yakni dalam keluarga,
kehidupan masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Daftar Pustaka
Amin,
Samir, Accumulation on
a World Scale
a Critique of
the Theory of Underdevelopment, Vol.1
and Vol.2 Combined
(New York -London: Monthly Review
Press, 1974).
Elizabeth,
R. 2007. Woman Empowerment to Support Gender Mainstreaming in Rural
Agricultural Development Policies. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 25 No.
2 : 126-135.
Fakih, Mansour, Analisis
Gender dan Transformasi
Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Hadiz, Liza, Perempuan dalam Wacana Politik Orde
Baru (Jakarta: LP3ES, 2004).Husken,
Frans et. al (editor), Pembangunan
dan Kesejahteraan Sosial
Indonesia di Bawah Orde Baru
(Jakarta: Grasindo, 1997).
Oey-Gardiner,
Mayling (editor), Perempuan
Indonesia: Dulu dan
Kini (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996).
Parawansa,
K.I. 1998. Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Kebijakan
Bank Mengenai Gender dan Pembangunan. World Bank.
Prijono,
Onny S dan
A.M.W. Pranarka (Penyunting),
Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan
Implementasi (Jakarta: Centre
for Strategic and International Studies, 1996).
Sun,
Tsai-Wei. 2005. Gender Representation In Politics and Public Administration:
Taiwan and Asian Countries. Singapore : National University of Singapore.
Suyono,
Haryono, Pendidikan Perempuan
Aset Bangsa, (Jakarta:
Yayasan Damandiri, 2003).
No comments:
Post a Comment
Sila tinggalkan komentar. Nuwun.