A. PENGERTIAN
Definisi Migrasi
Migrasi sebagai
komponen demografi memiliki beragam definisi. Secara sederhana, migrasi diartikan sebagai
perpindahan penduduk dengan tujuan untuk
menetap dari suatu
tempat ke tempat
lain melalui batas
politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dari suatu
negara. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa
merumuskan bahwa migrasi
penduduk sebagai suatu perpindahan tempat tinggal dari suatu unit
administrasi ke unit administrasi yang
lain (United Nations 1970; 1 dalam Eridiana 2010). Masih dalam
Eridiana (2010), Gould
dan Prothero (1975,41)
juga menekankan unsur
perpindahan tempat tinggal. Namun menurut
mereka, walaupun seseorang telah secara resmi pindah tempat, tetapi apabila
ada niat sebelumnya untuk kembali ke
tempat semula, maka
harus dianggap sebagai
mobilitas sirkuler, bukan
sebagai migrasi.
Di
Indonesia, konsep migrasi
yang digunakan dalam
sensus 1971 sama dengan sensus
1980. Migrasi adalah
perpindahan seseorang melewati
batas propinsi menuju ke propinsi
lain dalam jangka waktu 6 bulan atau lebih. Hampir semua
migrasi berkaitan dengan
ruang dan waktu,
mengenai keterkaitan antara ruang
dan waktu ini,
para ahli dihadapkan
kepada suatu kesulitan
untuk menetapkannya. Sehingga
definisi terhadap migrasi
oleh beberapa ahli
sering dirasa adanya
kekurangtepatan.
Menurut Tjiptoherijanto (2000) dalam
Safrida (2008), migrasi merupakan perpindahan orang
dari daerah asal
ke daerah tujuan. Keputusan migrasi
didasarkan pada perbandingan untung rugi
yang berkaitan dengan kedua
daerah tersebut. Tujuan
utama migrasi adalah
meningkatkan taraf hidup migran
dan keluarganya, sehingga
umumnya mereka mencari
pekerjaan yang dapat memberikan pendapatan dan status sosial yang
lebih tinggi di daerah tujuan.
Menurut Osaki
(2003) dalam Safrida
(2008) migrasi penduduk
terjadi karena adanya keperluan tenaga kerja
yang bersifat hakiki
(intrinsic labor
demand) pada masyarakat industri modern. Pernyataan ini merupakan
salah satu aliran yang
menganalisis keinginan
seseorang melakukan migrasi
yang disebut dengan dual labor
market theory. Menurut aliran
ini, migrasi terjadi
karena adanya keperluan tenaga
kerja tertentu pada daerah atau negara yang telah maju. Oleh karena itu migrasi bukan hanya terjadi karena push
factors yang ada pada daerah asal tetapi juga adanya pull factors pada daerah tujuan.
Definisi Migrasi Internasional
Migrasi internasional sebagai salah
satu jenis migrasi memiliki arti yakni migrasi
yang melewati batas politik antar negara. Batas politik ini sangat dinamis tergantung kepada konstelasi politik global
yang ada.
Studi kepustakaan
mengenai migrasi internasional masih
sangat terbatas. Dari beberapa
literatur diketahui bahwa
suatu negara akan
mengalami transisi dalam
mobilitas internasional, dari
negara pengekspor tenaga
kerja menjadi tenaga
pengimpor tenaga kerja. Fields
(1993) dalam Ananta
menyimpulkan bahwa titik balik
dalam transisi mobilitas
internasional di beberapa
negara (Hongkong, Korea Selatan,
Singapura, dan Taiwan) berkaitan erat dengan tahap pembangunan
ekonomi mereka. Pembangunan
ekonomi mereka berpangkal
dari adanya industri ekspor yang
memanfaatkan banyak tenaga kerja. Pasar domestik mereka sangat terintegrasi, sehingga apa yang
terjadi di satu pasar mempengaruhi pasar
lain. Berarti, keberhasilan dalam ekspor segera menyebar ke semua sektor. Faktor institusional
yang menyebabkan perbedaan
besar dalam upah
juga tidak banyak
dijumpai. Keberhasilan
ekspor ini kemudian
menyerap tenaga kerja
dan selanjutnya meningkatkan penghasilan
mereka. Titik balik
kemudian terjadi ketika perekonomian mencapai full employment, yaitu ketika
perekonomian mulai sulit mencari
tenaga kerja. Pada
saat itu, negara
ini mulai mencari
tenaga kerja dari negara lain.
Terkait dengan
uraian diatas, Indonesia
sebagai suatu negara
dengan tingkat pertumbuhan
penduduk dan tingkat pengangguran yang
tinggi, memandang migrasi tenaga
kerja ke luar negeri (migrasi internasional) merupakan salah
satu cara untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Migrasi internasional merupakan proses perpindahan
penduduk suatu negara ke negara lain. Umumnya orang
melakukan migrasi ke
luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan
ekonomi yang lebih
baik bagi dirinya
dan keluarganya. Suatu fakta memperlihatkan bahwa
pengangguran, upah yang
rendah, prospek karir yang kurang menjanjikan
untuk orang-orang yang
berpendidikan tinggi dan resiko untuk melakukan
investasi di dalam
negeri merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi ke luar negeri (Solimano
2001).
Arsjad, et al. (1992) dalam Ananta
menyatakan bahwa Indonesia saat ini sedang dalam
tahap intensive margin
of labor use dimana transformasi
dalam output berjalan lebih cepat daripada transformasi dalam employment. Tetapi pada saat
ini Indonesia juga
masih terus memacu
ekspor tenaga kerja.
Di pihak lain, Indonesia
juga mengimpor tenaga kerja, terutama pada mutu yang relatif tinggi.
Syahriani (2007)
dalam Safrida (2008) menyatakan banyak
faktor yang memotivasi para
pekerja Indonesia memilih
bekerja di luar
negeri diantaranya peluang
kerja yang terbatas,
upah yang rendah,
dan kemiskinan mendorong
seseorang meninggalkan negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara
lain. Para migran ini
pergi ke negara
tujuan yang memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi dibanding negara asalnya.
Mantra (1996) dalam
Ananta menyatakan pengiriman
tenaga kerja Indonesia keluar
negeri memiliki beberapa
makna strategis bagi
pembangunan nasional, yaitu
peningkatan pendapatan keluarga,
peningkatan devisa negara,
peningkatan keterampilan kerja,
dan pengurangan masalah
pengangguran. Akan tetapi, migrasi
tenaga kerja keluar
negeri ini bukan
tanpa masalah. Beberapa
masalah yang masih
terjadi terkait dengan
jumlah tenaga kerja
yang berangkat, kualitas tenaga
kerja, masalah sosial budaya, dan masalah kelembagaan.
B. KEBIJAKAN
Kebijakan Migrasi Internal
Beberapa kebijakan
(formal) yang mengatur
tentang migrasi internal khususnya periode pasca kemerdekaan
tentang ketransmigrasian telah
ditetapkan pemerintah untuk mengatasi masalah distribusi penduduk yang
tidak merata dan membantu
pembangunan daerah yang
ditinggalkan dan daerah
tujuan migrasi. Beberapa kebijakan
tersebut yaitu: Undang-Undang
Nomor 29 Tahun
1960, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1997, Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004, Peraturan
Pemerintah Nomor 2
Tahun 1999, dan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983.
Undang-Undang Nomor
29 Tahun 1960
yang mengatur tentang
pokok pokok penyelenggaraan transmigrasi,
menitikberatkan pada jenis
penempatan transmigrasi secara teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya.
Undang-undang ini kemudian disempurnakan
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan pokok transmigrasi menetapkan (Departemen
Transmigrasi RI, 1986):
- Transmigrasi merupakan pemindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara atau atas alasan-alasan yang dipandang perlu oleh pemerintah.
- Fungsi transmigrasi adalah sebagai sarana pembangunan yang penting baik ditinjau dari segi pengembangan proyek-proyek pembangunan nasional maupun regional. Dalam hal ini, transmigrasi berarti penyebaran dan penyediaan tenaga kerja serta ketrampilan, baik untuk perluasan produksi maupun pembukaan lapangan kerja baru di daerah tujuan.
Tahun 1973
ditetapkan Keputusan Pemerintah
Nomor 2 Tahun
1973 tentang penetapan
daerah penempatan transmigran
yaitu: Lampung, Sumatera
Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Timur. Lembaga
penyelenggaraannya adalah departemen
transmigrasi dan koperasi. Undang-Undang
Nomor 15 Tahun
1997 tentang ketransmigrasian dan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan
migran, maka para migran memperoleh hak-hak
sebagai berikut: hak
kepemilikan tanah atas
namanya; rumah tempat
tinggal yang layak
dengan aksesibilitas yang
memadai; lahan sebagai modal usaha atau sarana lainnya sebagai
sarana penyediaan kesempatan kerja
sesuai pola pengembangannya; bimbingan,
sarana dan prasarana
usaha; sarana dan fasilitas
sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan.
Selanjutnya kebijakan
umum penyelenggaraan transmigrasi
juga diatur dalam GBHN 1983 antara lain :
- Transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran penduduk dan tenaga kerja serta pembukaan dan pengembangan daerah produksi baru, terutama daerah pertanian dalam rangka pembangunan daerah, khususnya di luar Jawa dan Bali, yang dapat menjamin peningkatan taraf hidup para transmigran dan masyarakat di sekitarnya.
- Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan transmigrasi, yang perlu ditingkatkan adalah jumlah migran, koordinasi dan penyelenggaraan migrasi yang meliputi penetapan daerah transmigrasi, penyediaan lahan usaha dan pemukiman, penyelesaian masalah pemilikan tanah, prasarana jalan dan transportasi, sarana produksi, dan usaha pengintegrasian migran dengan penduduk setempat.
Namun demikian
hingga periode reformasi,
program transmigrasi masih dinilai
kurang berhasil. Penilaian ini didasarkan pada kondisi tidak terpenuhinya asumsi
dasar yang dibuat
oleh pengkritisi masalah
transmigrasi. Menurut Tirtosudarmo
(1996) ada empat
asumsi dasar yang
mempertautkan antara kebijakan
pengerahan mobilitas penduduk
yang dilakukan secara
langsung melalui transmigrasi.
Asumsi Demographic Fallacy,
mengasumsikan pemindahan penduduk yang diatur pemerintah dapat mengurangi ketidakseimbangan
distribusi penduduk antara Jawa dan Luar
Jawa. Asumsi ini tidak terbukti karena dengan transmigrasi ternyata
tidak secara otomatis
menyeimbangkan penduduk Jawa
dan luar Jawa.
Pembangunan
di Jawa yang relatif cepat menjadi magnit bagi migran luar Jawa, sehingga
ketimpangan jumlah penduduk
tetap terjadi antara
Jawa dan luar
Jawa. Asumsi Geographic Fallacy yang mengasumsikan
bahwa masih banyak
tanah luas di luar Jawa yang
belum berpenghuni, sehingga sangat tepat jika penduduk jika penduduk Jawa dipindahkan ke tempat kosong
tersebut. Asumsi Economic Fallacy yang mengasumsikan
bahwa melalui pemindahan
penduduk Jawa yang
miskin ke luar Jawa
untuk bekerja sebagai
petani pemilik dan buruh perkebunan pola PIR akan meningkatkan
kesejahteraan kaum miskin
tersebut. Asumsi Political Fallacy mengasumsikan bahwa terjadinya keresahan
politik di daerah-daerah
padat penduduk di
Jawa dapat dihilangkan
dengan memindahkan penduduk
ke luar Jawa.
Namun asumsi ini sulit
dibuktikan kebenarannya. Penempatan transmigran dari Jawa justru banyak menimbulkan
kecemburuan sosial penduduk
setempat, sedangkan di
Jawa keresahan politik tetap saja
terjadi.
Belajar dari
pengalaman kegagalan hingga
periode reformasi yang merupakan
kebijakan langsung (direct policy) tersebut,
maka dengan berlakunya Undang-Undang No.
32 Tahun 2004
dan berlakunya otonomi
daerah, penyelenggaraan
transmigrasi mengalami perubahan. Transmigrasi yang semula merupakan program
Top Down,
bergeser menjadi Bottom Up.
Daerah diberi keleluasaan
untuk menentukan pilihan
apakah menerima atau
menolak program transmigrasi di daerahnya. Dalam penerimaan
calon transmigran dari daerah asal harus ada
kerja sama antara
daerah penerima dan
daerah pengirim, dengan
fasilitator pemerintah pusat.
Kebijakan Migrasi Internasional
Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah (formal) menetapkan beberapa kebijakan yaitu: Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999, Peraturan Presiden R.I. No.81 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, menetapkan penempatan tenaga kerja migran merupakan kegiatan pelayanan untuk mempertemukan tenaga kerja migran sesuai bakat, minat dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan
Selanjutnya pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa calon tenaga kerja migran yang diizinkan untuk bekerja ke luar negeri harus memenuhi syarat minimal berumur 18 tahun dan berpendidikan sekurang - kurangnya lulus SLTP atau sederajat. Untuk calon tenaga kerja migran yang akan bekerja pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun.
Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BPTKI). BPTKI adalah lembaga pemerintah non struktural yang melaksanakan sebagian kebijaksanaan pemerintah dalam bidang penempatan tenaga kerja Indonesia. BPTKI diketuai oleh menteri bidang ketenagakerjaan, dan bertanggung jawab kepada presiden.
Peraturan Presiden R.I. Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia merumuskan tentang kemudahan pelayanan yang dilakukan bersama-sama dengan instansi pemerintah terkait baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Bidang tugas masing-masing instansi pemerintah meliputi ketenagakerjaan, keimigrasian, verifikasi dokumen kependudukan, kesehatan, kepolisian dan bidang lain yang dianggap perlu. Sementara, pos pelayanan akan melakukan pelayanan untuk memperlancar pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja migran yang dikoordinasikan oleh Balai Pelayanan dan Penempatan dan Perlindungan tenaga kerja migran (BP3TKI). Pos Pelayanan dibentuk dalam rangka kelancaran pelaksanaan pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja migran di pintu-pintu embarkasi dan debarkasi (Depnakertrans, 2007).
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005 tentang penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan tenaga kerja migran ke luar negeri memutuskan bahwa pembekalan akhir pemberangkatan yang selanjutnya disebut PAP adalah kegiatan pemberian informasi kepada calon tenaga kerja migran yang akan berangkat bekerja ke luar negeri agar calon tenaga kerja migran mempunyai kesiapan mental dan pengetahuan untuk bekerja diluar negeri, memahami hak dan kewajibannya serta dapat mengatasi masalah yang dihadapi.
Untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan tenaga kerja migran, maka Depnakertrans dalam tahun 2005 menetapkan program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan dana sebesar 324.86 milyar rupiah, yang lebih besar dari tahun 2004 yaitu sebesar 133.31 milyar rupiah, artinya mengalami kenaikan sekitar 45 persen. Program ini bertujuan untuk mendorong, memasyarakatkan dan meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pelatihan kerja, agar tersedia tenaga kerja yang berkualitas, produktif dan berdaya saing sehingga mampu mengisi tersebut, lembaga pelaksananya adalah Balai Latihan Kerja (BLK), Loka Latihan Kerja (LLK) yang berada dibawah kewenangan pusat maupun daerah (Depnakertrans, 2005).
C. INSTRUMEN KEBIJAKAN MIGRASI
Instrumen Kebijakan Migrasi
Internal
Tujuan seseorang
untuk migrasi adalah
untuk memperoleh kesejahteraan dan pendapatan yang lebih baik. Jika upah minimum regional atau
upah minimum propinsi
di luar Jawa
ditingkatkan lebih besar dibandingkan dengan
peningkatan upah minimum
regional di Pulau
Jawa, diharapkan dapat mengurangi keinginan penduduk di luar Jawa untuk
migrasi ke Jawa dan meningkatkan keinginan
penduduk Jawa untuk
migrasi ke luar
Jawa, sehingga distribusi penduduk di Indonesia lebih merata.
2. Pengeluaran Infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur
berfungsi untuk menunjang pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja, mengingat fondasi
utama untuk mendorong
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi
hanya akan terjadi jika ada peningkatan stok dan perbaikan kualitas
infrastruktur. Dampak pembangunan
dan perbaikan infrastruktur diharapkan dapat
menjadi daya tarik
bagi penduduk setempat
dan pendatang untuk meningkatkan
aktivitas ekonominya, sehingga
dapat memperluas dan membuka
kesempatan kerja. Jika
peningkatan jumlah anggaran pengeluaran
infrastruktur di luar
Jawa lebih besar
dibanding peningkatan jumlah anggaran pengeluaran infrastruktur di Jawa,
diharapkan dapat meningkatkan jumlah migran dari Jawa ke luar Jawa, dan menurunkan
jumlah migran dari luar Jawa untuk migrasi ke Jawa.
3. Suku Bunga
Suku bunga
merupakan variabel penting
yang mempengaruhi investasi. Penurunan
suku bunga diharapkan
dapat mendorong perusahaan - perusahaan daerah untuk
meningkatkan dan membuka investasi baru. Pembukaan dan peningkatan investasi
tersebut, diharapkan juga dapat membuka kesempatan kerja di daerah
bersangkutan, sehingga dapat menurunkan jumlah pengangguran dan keinginan
migrasi penduduk ke
daerah lain, serta
menjadi daya tarik
bagi penduduk lain untuk migrasi ke daerah tersebut.
Instrumen Kebijakan Migrasi
Internasional
Seperti
halnya migrasi internal, instrumen kebijakan migrasi internasional juga didasarkan pada tujuan kebijakan migrasi
internasional yang telah ditetapkan pemerintah.
Tujuan umum kebijakan migrasi internasional adalah meningkatkan kuantitas
dan kualitas tenaga
kerja migran internasional, yang
tujuannya mengatasi tingginya
angka pengangguran, dan
menambah devisa negara. Instrumen kebijakan
migrasi internasional yang
digunakan dalam penelitian
ini adalah nilai tukar. Instrumen
kebijakan ini disesuaikan
dengan maksud pemerintah
untuk meningkatkan kuantitas
tenaga kerja migran.
Nilai tukar berpengaruh
terhadap upah yang
akan diterima tenaga
kerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, karena upah yang
mereka terima dalam bentuk mata uang asing sesuai dengan tempat kerja mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Ananta,
Aris. Transisi Demografi Transisi Pendidikan dan Transisi Kesehatan di
Indonesia. Jakata: Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. 1995
Ananta, Aris,
Prijono Tjiptoherijanto dan
Chotib. Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Kantor
Menteri Negara Kependudukan/BKKBN dan
Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1996
Lee, Alexander. Gridlock: Labor,
Migration, and Human
Trafficking in Dubai. Journal of International Affairs; Fall
2012; 66, 1; ProQuest pg. 238
Lee,
Everett S. A Theory of Migration. University of Pennsylvania. Demography, Vol.
3, No. 1. (1966), pp. 47-57.
Martin, Philip. Sustainable Labor
Migration Policies in
a Globalizing World.Universityof California, Davis. 2003.
Philip, Martin
and Jonas Widgren.
International Migration: Facing
the Challenge. Population
Bulletin; Mar 2002; 57, 1; ProQuest pg.
No comments:
Post a Comment
Sila tinggalkan komentar. Nuwun.