Thursday, February 12, 2015

Kebijakan Migrasi di Indonesia


A. PENGERTIAN



Definisi Migrasi

Migrasi  sebagai  komponen  demografi  memiliki beragam  definisi. Secara  sederhana, migrasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk  menetap  dari  suatu  tempat  ke  tempat  lain  melalui  batas  politik/negara  ataupun  batas administrasi/batas bagian dari suatu negara. Sementara  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  merumuskan  bahwa  migrasi  penduduk sebagai suatu perpindahan tempat tinggal dari suatu unit administrasi ke  unit administrasi yang lain (United Nations 1970; 1 dalam Eridiana 2010). Masih  dalam  Eridiana  (2010),  Gould  dan  Prothero  (1975,41)  juga  menekankan  unsur  perpindahan  tempat  tinggal. Namun  menurut  mereka,  walaupun  seseorang telah  secara resmi pindah tempat, tetapi apabila ada niat sebelumnya untuk kembali ke  tempat  semula,  maka  harus  dianggap  sebagai  mobilitas  sirkuler,  bukan  sebagai  migrasi.

Di  Indonesia,  konsep  migrasi  yang  digunakan  dalam  sensus  1971  sama  dengan  sensus  1980.  Migrasi  adalah  perpindahan  seseorang  melewati  batas  propinsi menuju ke propinsi lain dalam jangka waktu 6 bulan atau lebih. Hampir  semua  migrasi  berkaitan  dengan  ruang  dan  waktu,  mengenai  keterkaitan  antara  ruang  dan  waktu  ini,  para  ahli  dihadapkan  kepada  suatu  kesulitan  untuk  menetapkannya.  Sehingga  definisi  terhadap  migrasi  oleh  beberapa  ahli  sering  dirasa adanya kekurangtepatan.

Menurut Tjiptoherijanto (2000) dalam Safrida (2008), migrasi merupakan  perpindahan  orang  dari  daerah  asal  ke  daerah  tujuan. Keputusan  migrasi  didasarkan  pada  perbandingan untung  rugi  yang berkaitan dengan  kedua daerah  tersebut.  Tujuan  utama  migrasi  adalah  meningkatkan  taraf hidup  migran  dan  keluarganya,  sehingga  umumnya  mereka  mencari  pekerjaan yang  dapat  memberikan pendapatan dan status sosial yang lebih tinggi di daerah tujuan.

Menurut  Osaki  (2003)  dalam  Safrida  (2008)  migrasi  penduduk  terjadi  karena adanya  keperluan tenaga  kerja  yang  bersifat  hakiki  (intrinsic  labor  demand) pada masyarakat industri modern. Pernyataan ini merupakan salah satu  aliran  yang  menganalisis keinginan  seseorang  melakukan  migrasi  yang  disebut  dengan dual  labor  market theory.  Menurut  aliran  ini,  migrasi  terjadi  karena  adanya keperluan tenaga kerja tertentu pada daerah atau negara yang telah maju.  Oleh karena itu  migrasi bukan hanya terjadi  karena push factors yang ada  pada  daerah asal tetapi juga adanya pull factors pada daerah tujuan.

Definisi Migrasi Internasional

Migrasi internasional sebagai salah satu jenis migrasi memiliki arti yakni  migrasi yang melewati batas politik antar negara. Batas politik ini sangat dinamis  tergantung kepada konstelasi politik global yang ada.

Studi  kepustakaan  mengenai migrasi  internasional  masih  sangat terbatas.  Dari  beberapa  literatur  diketahui  bahwa  suatu  negara  akan  mengalami  transisi  dalam  mobilitas  internasional,  dari  negara  pengekspor  tenaga  kerja  menjadi  tenaga  pengimpor  tenaga  kerja. Fields  (1993)  dalam  Ananta  menyimpulkan  bahwa  titik  balik  dalam  transisi  mobilitas  internasional  di  beberapa  negara  (Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan) berkaitan erat dengan tahap  pembangunan  ekonomi  mereka.  Pembangunan  ekonomi  mereka  berpangkal  dari  adanya industri ekspor yang memanfaatkan banyak tenaga kerja. Pasar domestik  mereka sangat terintegrasi, sehingga apa yang terjadi di satu pasar mempengaruhi  pasar lain. Berarti, keberhasilan dalam ekspor segera menyebar ke semua sektor. Faktor  institusional  yang  menyebabkan  perbedaan  besar  dalam  upah  juga  tidak  banyak  dijumpai.  Keberhasilan ekspor  ini  kemudian  menyerap  tenaga  kerja  dan  selanjutnya meningkatkan  penghasilan  mereka.  Titik  balik  kemudian  terjadi  ketika perekonomian mencapai full employment, yaitu ketika perekonomian mulai  sulit  mencari  tenaga  kerja.  Pada  saat  itu,  negara  ini  mulai  mencari  tenaga  kerja  dari negara lain.

Terkait  dengan  uraian  diatas,  Indonesia  sebagai  suatu  negara  dengan  tingkat  pertumbuhan  penduduk  dan  tingkat pengangguran  yang  tinggi,  memandang migrasi tenaga kerja ke luar negeri (migrasi internasional) merupakan  salah  satu  cara  untuk  mengatasi  permasalahan  tersebut. Migrasi  internasional merupakan proses perpindahan penduduk suatu negara ke negara lain. Umumnya  orang  melakukan  migrasi  ke  luar  negeri  untuk memperoleh  kesejahteraan  ekonomi  yang  lebih  baik  bagi  dirinya  dan  keluarganya. Suatu  fakta  memperlihatkan  bahwa  pengangguran,  upah  yang  rendah,  prospek karir  yang  kurang  menjanjikan  untuk  orang-orang  yang  berpendidikan  tinggi  dan resiko untuk  melakukan  investasi  di  dalam  negeri  merupakan  faktor-faktor  yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi ke luar negeri (Solimano 2001).

Arsjad, et al. (1992) dalam Ananta menyatakan bahwa Indonesia saat ini  sedang  dalam  tahap intensive  margin  of  labor  use dimana  transformasi  dalam  output berjalan lebih cepat daripada transformasi dalam employment. Tetapi pada  saat  ini  Indonesia  juga  masih  terus  memacu  ekspor  tenaga  kerja.  Di  pihak  lain,  Indonesia juga mengimpor tenaga kerja, terutama pada mutu yang relatif tinggi.

Syahriani  (2007)  dalam  Safrida  (2008) menyatakan  banyak  faktor  yang memotivasi  para  pekerja  Indonesia  memilih  bekerja  di  luar  negeri  diantaranya  peluang  kerja  yang  terbatas,  upah  yang  rendah,  dan  kemiskinan  mendorong  seseorang meninggalkan negaranya untuk mencari kehidupan  yang lebih baik di  negara  lain.  Para  migran ini  pergi  ke  negara  tujuan  yang  memiliki  tingkat  pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding negara asalnya.

Mantra  (1996) dalam  Ananta  menyatakan  pengiriman  tenaga  kerja Indonesia  keluar  negeri  memiliki  beberapa  makna  strategis  bagi  pembangunan  nasional,  yaitu  peningkatan  pendapatan  keluarga,  peningkatan  devisa  negara,  peningkatan  keterampilan  kerja,  dan  pengurangan  masalah  pengangguran. Akan  tetapi,  migrasi  tenaga  kerja  keluar  negeri  ini  bukan  tanpa  masalah.  Beberapa  masalah  yang  masih  terjadi  terkait  dengan  jumlah  tenaga  kerja  yang berangkat,  kualitas tenaga kerja, masalah sosial budaya, dan masalah kelembagaan.

B. KEBIJAKAN

Kebijakan Migrasi Internal

Beberapa  kebijakan  (formal)  yang  mengatur  tentang  migrasi  internal khususnya periode pasca kemerdekaan tentang ketransmigrasian telah  ditetapkan pemerintah untuk mengatasi masalah distribusi penduduk yang tidak merata dan membantu  pembangunan  daerah  yang  ditinggalkan  dan  daerah  tujuan  migrasi. Beberapa  kebijakan  tersebut  yaitu:  Undang-Undang  Nomor  29  Tahun  1960, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997, Undang-Undang  Nomor  32  tahun  2004,  Peraturan  Pemerintah  Nomor  2  Tahun 1999, dan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983.

Undang-Undang  Nomor  29  Tahun  1960  yang  mengatur  tentang  pokok pokok  penyelenggaraan  transmigrasi,  menitikberatkan  pada  jenis  penempatan transmigrasi secara teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya. Undang-undang  ini kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972.  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan pokok  transmigrasi menetapkan (Departemen Transmigrasi RI, 1986):
  1. Transmigrasi  merupakan  pemindahan  penduduk  dari  satu  daerah  ke  daerah  lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan  pembangunan  negara  atau  atas  alasan-alasan  yang  dipandang  perlu  oleh pemerintah.
  2. Fungsi  transmigrasi  adalah  sebagai  sarana  pembangunan  yang  penting  baik  ditinjau  dari  segi  pengembangan  proyek-proyek  pembangunan  nasional  maupun  regional.  Dalam  hal  ini,  transmigrasi  berarti  penyebaran  dan  penyediaan  tenaga  kerja  serta  ketrampilan,  baik  untuk  perluasan  produksi  maupun pembukaan lapangan kerja baru di daerah tujuan.

Tahun  1973  ditetapkan  Keputusan  Pemerintah  Nomor  2  Tahun  1973  tentang  penetapan  daerah  penempatan  transmigran  yaitu:  Lampung,  Sumatera  Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan  Timur.   Lembaga  penyelenggaraannya  adalah departemen  transmigrasi  dan  koperasi.  Undang-Undang  Nomor  15  Tahun  1997  tentang  ketransmigrasian  dan  Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi  menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan migran, maka para migran  memperoleh  hak-hak  sebagai  berikut:  hak  kepemilikan  tanah  atas  namanya;  rumah  tempat  tinggal  yang  layak  dengan  aksesibilitas  yang  memadai;  lahan  sebagai modal usaha atau sarana lainnya sebagai sarana penyediaan kesempatan kerja  sesuai  pola  pengembangannya;  bimbingan,  sarana  dan  prasarana  usaha;  sarana dan fasilitas sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan.

Selanjutnya  kebijakan  umum  penyelenggaraan  transmigrasi  juga  diatur  dalam GBHN 1983 antara lain :
  1. Transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran penduduk dan tenaga  kerja  serta  pembukaan  dan  pengembangan  daerah  produksi  baru,  terutama daerah pertanian dalam rangka pembangunan daerah, khususnya di luar Jawa dan Bali, yang dapat menjamin peningkatan taraf hidup para transmigran dan  masyarakat di sekitarnya.
  2. Untuk  menjamin  keberhasilan  pelaksanaan  transmigrasi,  yang  perlu ditingkatkan adalah jumlah  migran, koordinasi  dan  penyelenggaraan  migrasi yang  meliputi  penetapan  daerah  transmigrasi,  penyediaan  lahan  usaha  dan pemukiman,  penyelesaian  masalah  pemilikan  tanah,  prasarana  jalan  dan transportasi,  sarana  produksi,  dan  usaha  pengintegrasian  migran  dengan penduduk setempat.

Namun  demikian  hingga  periode  reformasi,  program  transmigrasi  masih  dinilai kurang berhasil. Penilaian ini didasarkan pada kondisi tidak terpenuhinya  asumsi  dasar  yang  dibuat  oleh  pengkritisi  masalah  transmigrasi.  Menurut  Tirtosudarmo  (1996)  ada  empat  asumsi  dasar  yang  mempertautkan  antara  kebijakan  pengerahan  mobilitas  penduduk  yang  dilakukan  secara  langsung  melalui transmigrasi.

Asumsi  Demographic  Fallacy,  mengasumsikan  pemindahan  penduduk  yang diatur pemerintah dapat mengurangi ketidakseimbangan distribusi penduduk  antara Jawa dan Luar Jawa. Asumsi ini tidak terbukti karena dengan transmigrasi  ternyata  tidak  secara  otomatis  menyeimbangkan  penduduk  Jawa  dan  luar  Jawa.

Pembangunan di Jawa yang relatif cepat menjadi magnit bagi migran luar Jawa,  sehingga  ketimpangan  jumlah  penduduk  tetap  terjadi  antara  Jawa  dan  luar  Jawa.  Asumsi  Geographic  Fallacy yang  mengasumsikan  bahwa  masih  banyak  tanah  luas di luar Jawa yang belum berpenghuni, sehingga sangat tepat jika penduduk  jika penduduk Jawa dipindahkan ke tempat kosong tersebut.  Asumsi  Economic  Fallacy yang  mengasumsikan  bahwa  melalui  pemindahan  penduduk  Jawa  yang  miskin  ke  luar  Jawa  untuk  bekerja  sebagai  petani pemilik dan buruh perkebunan pola PIR akan meningkatkan kesejahteraan  kaum  miskin  tersebut.   Asumsi  Political  Fallacy mengasumsikan  bahwa  terjadinya  keresahan  politik  di  daerah-daerah  padat  penduduk  di  Jawa  dapat  dihilangkan  dengan  memindahkan  penduduk  ke  luar  Jawa.   Namun  asumsi  ini  sulit dibuktikan kebenarannya. Penempatan transmigran dari Jawa justru banyak  menimbulkan  kecemburuan  sosial  penduduk  setempat,  sedangkan  di  Jawa  keresahan politik tetap saja terjadi.


Belajar  dari  pengalaman  kegagalan  hingga  periode  reformasi  yang  merupakan kebijakan langsung (direct policy) tersebut, maka dengan berlakunya  Undang-Undang  No.  32  Tahun  2004  dan  berlakunya  otonomi  daerah,  penyelenggaraan transmigrasi mengalami perubahan.  Transmigrasi yang semula merupakan  program  Top  Down,  bergeser  menjadi  Bottom  Up.   Daerah  diberi  keleluasaan  untuk  menentukan  pilihan  apakah  menerima  atau  menolak  program  transmigrasi di daerahnya. Dalam penerimaan calon transmigran dari daerah asal  harus  ada  kerja  sama  antara  daerah  penerima  dan  daerah  pengirim,  dengan  fasilitator pemerintah pusat.

Kebijakan Migrasi Internasional

Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk  mewujudkan  hak  dan  kesempatan  yang  sama  bagi  tenaga  kerja  untuk memperoleh  pekerjaan  dan  penghasilan  yang  layak,  yang  pelaksanaannya dilakukan  dengan  memperhatikan  harkat,  martabat,  hak  asasi  manusia,  dan perlindungan  hukum  serta  pemerataan  kesempatan  kerja  dan  penyediaan  tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional. Untuk  mewujudkan  kondisi  tersebut,  dalam  beberapa  tahun  terakhir pemerintah  (formal)  menetapkan  beberapa  kebijakan  yaitu:  Undang-Undang  RI Nomor  34  Tahun  2004,  Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  2004,  Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999, Peraturan Presiden R.I. No.81 Tahun 2006, dan  Peraturan  Menteri  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi  Republik  Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, menetapkan penempatan  tenaga  kerja  migran  merupakan  kegiatan  pelayanan  untuk mempertemukan  tenaga  kerja  migran  sesuai  bakat,  minat  dan  kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses  perekrutan, pengurusan  dokumen,  pendidikan  dan  pelatihan,  penampungan,  persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari  negara tujuan

Selanjutnya pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa  calon  tenaga  kerja  migran  yang  diizinkan  untuk  bekerja  ke  luar  negeri  harus memenuhi syarat minimal berumur 18 tahun dan berpendidikan sekurang - kurangnya lulus SLTP atau sederajat. Untuk calon tenaga kerja migran yang akan  bekerja pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun.

Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi  Penempatan  Tenaga  Kerja  Indonesia  (BPTKI).   BPTKI  adalah  lembaga  pemerintah non struktural yang melaksanakan sebagian kebijaksanaan pemerintah  dalam bidang penempatan tenaga kerja Indonesia. BPTKI diketuai oleh  menteri  bidang ketenagakerjaan, dan bertanggung jawab kepada presiden.

Peraturan Presiden R.I. Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Penempatan  dan  Perlindungan  Tenaga  Kerja  Indonesia  merumuskan  tentang  kemudahan  pelayanan yang dilakukan bersama-sama dengan instansi pemerintah terkait baik  Pemerintah  Pusat  maupun  Pemerintah  Daerah.   Bidang  tugas  masing-masing  instansi  pemerintah  meliputi  ketenagakerjaan,  keimigrasian,  verifikasi  dokumen  kependudukan,  kesehatan,  kepolisian  dan  bidang  lain  yang  dianggap  perlu. Sementara,  pos  pelayanan  akan  melakukan  pelayanan  untuk  memperlancar  pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja migran yang dikoordinasikan oleh Balai  Pelayanan  dan  Penempatan  dan  Perlindungan  tenaga  kerja  migran  (BP3TKI).   Pos  Pelayanan  dibentuk  dalam  rangka  kelancaran  pelaksanaan  pemberangkatan  dan  pemulangan  tenaga  kerja  migran  di  pintu-pintu  embarkasi  dan debarkasi (Depnakertrans, 2007).

Peraturan  Menteri  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi  Republik  Indonesia  Nomor:  PER.04/MEN/II/2005  tentang  penyelenggaraan  Pembekalan  Akhir  Pemberangkatan  tenaga  kerja  migran  ke  luar  negeri  memutuskan  bahwa  pembekalan akhir pemberangkatan yang selanjutnya disebut PAP adalah kegiatan  pemberian  informasi  kepada  calon  tenaga  kerja  migran  yang  akan  berangkat  bekerja ke luar negeri agar calon tenaga kerja migran mempunyai kesiapan mental  dan pengetahuan  untuk bekerja  diluar  negeri, memahami  hak  dan  kewajibannya  serta dapat mengatasi masalah yang dihadapi.

Untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan tenaga kerja migran, maka  Depnakertrans dalam tahun 2005 menetapkan program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan dana sebesar 324.86 milyar rupiah, yang lebih besar  dari  tahun  2004  yaitu  sebesar  133.31  milyar  rupiah,  artinya  mengalami kenaikan  sekitar  45  persen.   Program  ini  bertujuan  untuk  mendorong, memasyarakatkan dan meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pelatihan kerja, agar tersedia tenaga kerja yang berkualitas, produktif dan berdaya saing sehingga mampu  mengisi  tersebut,  lembaga  pelaksananya  adalah  Balai  Latihan  Kerja (BLK),  Loka  Latihan  Kerja  (LLK)  yang  berada  dibawah  kewenangan  pusat maupun daerah (Depnakertrans, 2005).

C. INSTRUMEN KEBIJAKAN MIGRASI

Instrumen Kebijakan Migrasi Internal


1.  Upah  Minimum  Regional.

Tujuan  seseorang  untuk  migrasi  adalah  untuk memperoleh kesejahteraan dan pendapatan yang lebih baik. Jika  upah minimum regional  atau  upah  minimum  propinsi  di  luar  Jawa  ditingkatkan  lebih  besar dibandingkan  dengan  peningkatan  upah  minimum  regional  di  Pulau  Jawa, diharapkan dapat mengurangi keinginan penduduk di luar Jawa untuk migrasi  ke Jawa  dan  meningkatkan  keinginan  penduduk  Jawa  untuk  migrasi  ke  luar  Jawa, sehingga distribusi penduduk di Indonesia lebih merata.

2.  Pengeluaran  Infrastruktur.

Pembangunan  infrastruktur  berfungsi  untuk menunjang  pertumbuhan  ekonomi  dan  penciptaan  lapangan  kerja, mengingat  fondasi  utama  untuk  mendorong  peningkatan laju  pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi jika ada peningkatan stok dan perbaikan kualitas infrastruktur.   Dampak  pembangunan  dan  perbaikan  infrastruktur diharapkan  dapat  menjadi  daya  tarik  bagi  penduduk  setempat  dan pendatang  untuk  meningkatkan  aktivitas  ekonominya,  sehingga  dapat memperluas  dan  membuka  kesempatan  kerja.   Jika  peningkatan  jumlah anggaran  pengeluaran  infrastruktur  di  luar  Jawa  lebih  besar  dibanding peningkatan jumlah anggaran pengeluaran infrastruktur di Jawa, diharapkan dapat meningkatkan jumlah migran dari Jawa ke luar Jawa, dan menurunkan jumlah migran dari luar Jawa untuk migrasi ke Jawa.

3.  Suku  Bunga
Suku  bunga  merupakan  variabel  penting  yang  mempengaruhi investasi.  Penurunan  suku  bunga  diharapkan  dapat  mendorong  perusahaan - perusahaan daerah untuk meningkatkan dan membuka investasi baru. Pembukaan dan peningkatan investasi tersebut, diharapkan juga dapat membuka kesempatan kerja di daerah bersangkutan, sehingga dapat menurunkan jumlah pengangguran dan  keinginan  migrasi  penduduk  ke  daerah  lain,  serta  menjadi  daya  tarik  bagi penduduk lain untuk migrasi ke daerah tersebut.

Instrumen Kebijakan Migrasi Internasional

Seperti halnya migrasi internal, instrumen kebijakan migrasi internasional  juga didasarkan pada tujuan kebijakan migrasi internasional yang telah ditetapkan  pemerintah. Tujuan umum kebijakan migrasi internasional adalah meningkatkan  kuantitas  dan  kualitas  tenaga  kerja  migran  internasional,  yang  tujuannya  mengatasi  tingginya  angka  pengangguran,  dan  menambah  devisa  negara. Instrumen  kebijakan  migrasi  internasional  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah nilai  tukar.  Instrumen  kebijakan  ini  disesuaikan  dengan  maksud  pemerintah  untuk  meningkatkan  kuantitas  tenaga  kerja  migran.   Nilai  tukar  berpengaruh  terhadap  upah  yang  akan  diterima  tenaga  kerja  migran  Indonesia  yang bekerja di luar negeri, karena upah yang mereka terima  dalam bentuk mata  uang asing sesuai dengan tempat kerja mereka.

            DAFTAR PUSTAKA
Ananta, Aris. Transisi Demografi Transisi Pendidikan dan Transisi Kesehatan di Indonesia. Jakata: Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. 1995
Ananta,  Aris,  Prijono  Tjiptoherijanto  dan  Chotib. Mobilitas  Penduduk  di Indonesia. Jakarta:  Kantor  Menteri  Negara  Kependudukan/BKKBN  dan
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1996
Lee,  Alexander. Gridlock:  Labor,  Migration,  and  Human  Trafficking  in  Dubai. Journal of International Affairs; Fall 2012; 66, 1; ProQuest pg. 238
Lee, Everett S. A Theory of Migration. University of Pennsylvania. Demography, Vol. 3, No. 1. (1966), pp. 47-57.
Martin,  Philip. Sustainable  Labor  Migration  Policies  in  a  Globalizing  World.Universityof California, Davis. 2003.
Philip,  Martin  and  Jonas  Widgren.  International  Migration:  Facing  the  Challenge. Population Bulletin; Mar 2002; 57, 1; ProQuest pg. 

No comments:

Post a Comment

Sila tinggalkan komentar. Nuwun.