Latar Belakang
Partisipasi
perempuan saat ini, bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan
fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Melihat
potensi perempuan sebagai sumber daya manusia maka upaya menyertakan perempuan
dalam proses pembangunan bukan hanya merupakan perikemanusiaan belaka, tetapi
merupakan tindakan efisien karena tanpa mengikut sertakan perempuan dalam
proses pembangunan berarti pemborosan dan memberi pengaruh negative terhadap
lajunya pertumbuhan ekonomi (Pudjiwati, 1983). Partisipasi perempuan menyangkut
peran tradisi dan transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran
perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran
transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat
dan manusia pembangunan. Pada peran transisi wanita sebagai tenaga kerja turut
aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai
dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang
tersedia (Sukesi, 1991).
Keterlibatan perempuan yang sudah
kentara tetapi secara jelas belum diakui di Indonesia membawa dampak terhadap
peranan perempuan dalam kehidupan keluarga. Fenomena yang terjadi dalam
masyarakat adalah semakin banyaknya perempuan membantu suami mencari tambahan
penghasilan, selain karena didorong oleh kebutuhan ekonomi keluarga, juga
perempuan semakin dapat mengekspresikan dirinya di tengah keluarga dan
masyarakat. Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi kecenderungan perempuan untuk
berpartisipasi di pasar kerja, agar dapat membantu meningkatkan perekonomian
keluarga.
Pembagian kerja laki-laki dan
perempuan dapat dilihat pada aktivitas fisik yang dilakukan, di mana perempuan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki bertanggung
jawab atas pekerjaan nafkah. Pekerjaan rumah tangga tidak dinilai sebagai
pekerjaan karena alasan ekonomi semata dan akibatnya pelakunya tidak dinilai
bekerja. Permasalahan yang muncul kemudian adalah pekerjaan rumah tangga
sebagai bagian dari pekerjaan non produksi tidak menghasilkan uang, sedangkan
pekerjaan produksi (publik) berhubungan dengan uang. Uang berarti kekuasaan,
berarti akses yang besar ke sumber - sumber produksi, berarti status yang tinggi
dalam masyarakat. Dalam perkembangan budaya, konsep tersebut di atas berakar
kuat dalam adat istiadat yang kadang kala membelenggu perkembangan seseorang. Pantang
keluar rumah, seorang anak perempuan harus mengalah untuk tidak melanjutkan
sekolah, harus menerima upah yang lebih rendah, harus bekerja keras sambil
menggendong anak, hanya karena dia perempuan (Keppi Sukesi, 1991).
Selama satu dekade terakhir, partisipasi
perempuan di pasar tenaga kerja mengalami peningkatan yang
cukup nyata, meskipun persentasenya kecil jika dibandingkan dengan laki-laki.
Perubahan ini menunjukkan adanya peningkatan
peran perempuan yang
sangat berarti dalam
kegiatan ekonomi di Indonesia.
Namun demikian, struktur
angkatan kerja perempuan
memiliki tingkat pendidikan
yang rendah. Dengan demikian, sebagian besar perempuan masih berkiprah
di sektor informal atau pekerjaan yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan
dan keterampilan canggih atau spesifik. Dalam perspektif gender, proporsi
tenaga kerja perempuan dan laki-laki di
sektor informal adalah 40% perempuan, dan 60% laki-laki. Proporsi tenaga kerja
perempuan di sektor informal ini mencakup 70% dari keseluruhan tenaga kerja
perempuan.
Pekerjaan perempuan di sektor
informal biasanya kurang memberikan jaminan perlindungan secara hukum dan
jaminan kesejahteraan yang memadai, di samping kondisi kerja yang
memprihatinkan serta pendapatan yang rendah. Namun demikian, meski perempuan
mendapat upah hanya 70% dibandingkan laki-laki, tetapi perempuan
telah mengambil porsi
45% dari seluruh partisipasi angkatan kerja. Dalam area pertanian, perempuan
mengalami porsi 48,65%, perdagangan perempuan mengambil porsi 23,44%. Sementara
dalam area industri, tenaga kerja perempuan meliputi 13,44% dan jasa 12,24%.
Pada aspek pertanian, di mana kebanyakan kaum perempuan menjadi tenaga kerja
tanpa upah karena merupakan usaha
keluarga sebanyak 80%.
Dari data tersebut,
dapat dilihat betapa
perempuan kurang mendapat akses dan
keadilan dalam bidang
ekonomi. Perempuan masih
banyak melakukan pekerjaan
di sektor informal yang
tidak memerlukan keahlian
dan keterampilan, dan
tentunya ini berimplikasi
pada perlindungan hukum yang kurang, penerimaan upah yang tidak memadai,
belum lagi beban ganda yang dirasakan.
Disadari,
keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat sangat tergantung dari peran serta seluruh penduduk baik laki-laki
maupun perempuan sebagai pelaku, dan sekaligus pemanfaat hasil pembangunan.
Tuntutan akan kualitas sumber daya manusia (SDM) perempuan paling tidak
memiliki dampak pada dua hal. Pertama, dengan kualitas yang dimiliki, perempuan
akan menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah
sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Kedua,
perempuan yang berkualitas turut mempengaruhi kualitas generasi penerus,
mengingat fungsi reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia
di masa datang. Tetapi pada kenyataannya, selama ini peran serta kaum perempuan
dalam pelaksanaan program pembangunan masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Sektor Informal
Sebagai bagian
dari sistem perekonomian
di Indonesia, keberadaan sektor informal
memiliki daya serap
terhadap tenaga kerja
yang cukup besar dan
berperan sebagai sektor penyangga (buffer
zone) yang sangat lentur dan terbuka, juga
memiliki kaitan erat
dengan jalur distribusi
barang dan jasa
di tingkat bawah,
dan bahkan menjadi ujung
tombak pemasaran yang
potensial (Bagong Suyanto dan Karnaji; 2005;46).
Konsep sektor
informal, jika ditilik
dari asal muasalnya
sebenarnya merupakan suatu
jenis teori dualisme
baru yang pernah
populer yang dikembangkan dalam penjelasan klasik Boeke. Konsep
tentang sektor informal pertama kali
dilontarkan oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris pada tahun 1973 (Chris
Manning dan Tadjuddin
Noer Effendi;1985; 75).
Sethuraman, koordinator
tim peneliti ILO yang berasal
dari Sri Lanka kemudian
merumuskan beberapa ciri yang melekat pada pelaku sektor informal. Berdasarkan hasil
penelitiannya di delapan
kota dunia ketiga,
Sethuraman menemukan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor informal
ini kebanyakan berada pada usia
kerja utama (prime age),
berpendidikan rendah, memiliki pendapatan rendah
dibawah upah minimum,
modal usaha rendah,
sektor ini umumnya menampung
perpindahan tenaga kerja dari sektor
pertanian serta memiliki kemungkinan
untuk mobilitas vertikal
(Chris Manning dan
Tadjuddin Noer Effendi (ed);1985;90-94).
Rendahnya pendapatan
pelaku sektor informal
dibawah rata-rata pendapatan pelaku
sektor formal memantik
kritik keras dari
ahli yang juga memiliki concern terhadap sektor ini.
Dipak Mazumdar (Ibid;110-130), seorang ekonom
India dari Bank
Dunia mengetengahkan fakta yang
berbeda bahwa pekerja di sektor
informal memeroleh penghasilan yang bervariasi dan tidak ada bukti kuat bahwa
pelaku di sektor ini secara menyeluruh lebih rendah daripada pendapatan pelaku
sektor formal seperti buruh pabrik dan karyawan.
Sektor
informal dengan segala persamaan dan perbedaan dengan sektor formal sering dipertukarkan
dengan beragam istilah, diantaranya aktivitas
informal (informal activity), kesempatan kerja
yang diciptakan sendiri (self employment), ekonomi
bawah tanah (underground economy), ekonomi pasar
gelap (black market
economy), ekonomi bayangan (shadow economy) maupun kerja sampingan (causal work) (Subarsono; 2002;25).
Peran Ganda Perempuan
Kemajuan
ekonomi dan globalisasi membuat pasar kerja semakin kompleks. Dampak lain dari kemajuan
tersebut, terlihat dari makin membaiknya status serta lowongan kerja bagi
wanita. Walaupun angka partisipasi angkatan kerja wanita meningkat, namun tidak
sedikit wanita yang bekerja penggal waktu atau bekerja di sektor informal. Hal
ini berkaitan dengan peran peran ganda wanita sebagai ibu yang bertanggung
jawab atas urusan rumah tangga termasuk membesarkan anak, serta sebagai pekerja
perempuan (Dwiantini, 1995). Partisipasi wanita saat ini bukan sekedar menuntut
persamaan hak, tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan
dalam masyarakat Indonesia. Partisipasi wanita menyangkut peran tradisi dan
peran transisi, peran tradisi atau domestik mencakup peran wanita sebagai
istri, ibu dan pengelola rumah tangga.
Sementara peran transisi meliputi
pengertian wanita sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia
pembangunan. (C. Sukesi, 1991). Kecenderungan wanita untuk bekerja menimbulkan
banyak implikasi antara lain melonggarnya ikatan keluarga, meningkatnya kenakalan
remaja. Menurut Syamsiah Achmad (dalam Ichoromi, 1995) bahwa jumlah wanita
pencari kerja akan semakin meningkat di sebagian wilayah dunia. ketidak adilan
yang menimpa kaum wanita akan memunculkan persepsi bahwa wanita dilahirkan
untuk melakukan pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status
pekerjaan lebih rendah dengan imbalan yang rendah pula. Pekerjaan wanita selama
ini umumnya terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestik),walaupun kini
wanita mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis pekerjaan ini pun
merupakan perpanjangan dari pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian
manual. Di negara berkembang, tingkat pendidikan yang sangat rendah dengan
ketrampilan rendah pula, memaksa wanita memasuki sektor informal yang sangat
eksploitatif dengan gaji sangat rendah, jam kerja yang tidak menentu dan
panjang, tidak ada cuti dengan bayaran penuh.
Rendahnya
tingkat pendidikan wanita ini akan berdampak pada kedudukan mereka dalam
pekerjaan dan upah yang mereka terima (Siti Hidayati dalam Ihromi, 1995). Hal
serupa juga terjadi pada jenis usaha, artinya wanita yang melakukan usaha
ekonomi yang sama dengan pria mendapatkan penghasilan yang lebih rendah.
Ketertinggalan wanita pada peran transisi mereka adalah apabila ditelusuri
lebih lanjut kelihatannya berpangkal pada pembagian pekerjaan secara seksual di
dalam masyarakat di mana peran wanita yang utama adalah lingkungan rumah tangga
dan peran pria yang utama di luar rumah sebagai pencari nafkah utama. Pembagian
kerja secara seksual ini jelas tidak adil bagi wanita, sebab pembagian kerja
seperti ini selain mengurung wanita juga menempatkan wanita pada kedudukan subordinat
terhadap pria, sehingga cita-cita untuk mewujudkan wanita sebagai mitra sejajar
pria, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat mungkin akan sulit
terlaksana.
Faktor Penyebab Diskriminasi
Secara
umum diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan dilatarbelakangi oleh adanya
keyakinan gender yang
keliru di tengah-tengah
masyarakat. Peran gender
(gender role) sebagai
bentuk ketentuan sosial diyakini
sebagai sebuah kodrat
sehingga menyebabkan ketimpangan
sosial dan hal
ini sangat merugikan posisi
perempuan dalam berbagai
komunitas sosial baik
dalam pendidikan, sosial
budaya, politik dan juga
ekonomi. Di sektor pekerjaan, ketidakadilan
dapat saja terjadi karena hal-hal sebagai berikut.
1.
Marginalisasi
dalam Pekerjaan
Marginalisasi secara
umum dapat diartikan
sebagai proses penyingkiran
perempuan dalam pekerjaan.
Sebagaimana dikutip oleh Saptari menurut Alison Scott, seorang ahli sosiologi
Inggris melihat berbagai bentuk marginalisasi dalam empat bentuk yaitu: (1).
Proses pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja
tertentu, (2) Proses pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar
tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki
hidup yang tidak stabil, upahnya rendah,
dinilai tidak atau
kurang terampil, (3)
Proses feminisasi atau
segregasi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi
pekerjaan), atau pemisahan yang sematamata
dilakukan oleh perempuan saja
atau laki-laki saja.
(4) Proses ketimpangan ekonomi
yang mulai meningkat yang merujuk di antaranya perbedaan
upah.
Marginalisasi ini
merupakan proses pemiskinan
perempuan terutama pada
masyarakat lapisan bawah yang
kesejahteraan keluarga mereka sangat memprihatinkan. Marginalisasi perempuan
tidak saja terjadi di tempat pekerjaan akan tetapi juga dapat terjadi dalam
rumah tangga, masyarakat, kultur, dan bahkan
negara. Marginalisasi terhadap
perempuan sudah terjadi
dalam rumah tangga
dalam bentuk diskriminasi atas
anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan.
Menurut Irwan Abdullah, ada
dua hal yang berkaitan
dengan ketimpangan gender
dalam bentuk marginalisasi. Pertama,
pekerjaan-pekerjaan marginal yang
dikerjakan perempuan dapat dilihat
sebagai akibat dari proses identifikasi perempuan terhadap apa-apa yang sesuai dengan
sifat perempuan seperti yang sudah dikonstruksi secara sosial. Identifikasi ini
merupakan proses pemaknaan diri dan hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan perempuan sehingga
berbagai faktor diperhatikan
di dalamnya. Dalam perspektif
semacam ini kemudian ketimpangan gender tidak lain merupakan pilihan perempuan,
bukan pemaksaan terhadap perempuan. Kedua, berbagai
proses telah mereproduksi
sifat perempuan dan kenyataan
tentang pekerjaan-pekerjaan yang
sesuai dengan sifat keperempuanan
tersebut. Tingkat absensi
perempuan yang tinggi (karena perempuan membutuhkan cuti hamil) seringkali
dijadikan alasan untuk tidak memilih tenaga kerja perempuan atau menempatkan
perempuan dalam pekerjaan marginal.
Dengan demikian, pada kebanyakan
keluarga miskin di Indonesia, peran
perempuan sebagai aset ekonomi rumah tangga menjadi sangat penting karena
secara batin dan etos pengorbanan mereka bekerja untuk bertahan hidup atau
paling tidak demi anaknya, meskipun dengan pendapatan sangat minim dan prasarana yang
kurang mendukung keberadaannya. Karenanya
dukungan dan kesempatan
bagi perempuan dalam memberdayakan dirinya dan lebih meningkatkan kesejahteraannya
menjadi hal sangat strategis.
2. Kedudukan Perempuan yang Subordinat
dalam Sosial dan Budaya.
Peran gender dalam masyarakat
ternyata juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap perempuan terutama dalam
pekerjaan. Anggapan bahwa
perempuan itu irrasional
atau emosional menjadikan perempuan
tidak bisa tampil
sebagai pemimpin, dan
ini berakibat pada
munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang
kurang penting.
Subordinat dapat terjadi dalam
segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa misalnya, dahulu ada anggapan
bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya juga akan ke
dapur. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas,
dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak
laki-laki akan mendapatkan prioritas
utama. Praktik seperti itu
sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender
yang tidak adil.
Di sektor publik, masalah umum
yang dihadapi perempuan dalam pekerjaan adalah kecenderungan perempuan
terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang upahnya rendah, kondisi kerja
buruk, dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal ini berlaku khusus bagi perempuan
berpendidikan menengah ke bawah. Pekerjaan di kota adalah sebagai buruh pabrik,
sedangkan di pedesaan adalah sebagai buruh tani. Hal yang perlu digarisbawahi
di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut
tidak semata-mata disebabkan
faktor pendidikan. Dari kalangan
pengusaha sendiri, terdapat
preferensi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis
pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah dari laki-laki.
3. Stereotipe terhadap Perempuan
Stereotipe secara
umum diartikan sebagai
pelabelan atau penandaan
terhadap suatu kelompok tertentu. Pada kenyataannya
stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan diskriminasi. Salah satu jenis stereotipe
itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan
terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya
perempuan, yang bersumber
dari penandaan (stereotype) yang
dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi
bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan
jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan
dengan stereotipe ini.
Bahkan jika ada
pemerkosaan yang dialami
oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan
korbannya. Masyarakat memiliki
anggapan bahwa tugas utama
kaum perempuan adalah
melayani suami. Stereotipe
ini berakibat wajar
sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali memanipulasi
ideologi gender sebagai pembenaran.
Ideologi gender merupakan
aturan, nilai, stereotipe
yang mengatur hubungan antara perempuan dan
laki-laki terlebih dahulu melalui
pembentukan identitas feminin
dan maskulin. Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik,
maka pada saat ia masuk ke sektor publik
sah-sah saja untuk
memberikan upah lebih
rendah karena pekerjaan
di sektor publik
hanya sebagai sampingan untuk membantu suami.
Beberapa alasan
yang menyebabkan rendahnya
angka partisipasi perempuan
dalam kerja adalah, Pertama, menyangkut
persepsi mengenai kerja
(yang dilakukan) perempuan
berkaitan dengan peran domestik perempuan, kedua, berkaitan
dengan persepsi tersebut
adalah perangkat pengukuran, penentuan, atau pendefinisian
pekerjaan perempuan, dan yang ketigaadalah sifat musiman, paruh waktu, dan informal
dari kebanyakan pekerjaan
perempuan. Gambaran tersebut
memperlihatkan bahwa hambatan mobilitas
yang mengakibatkan lemahnya
informasi pasar, layanan
usaha, keterbatasan mengakses
jaringan bisnis, serta tidak memiliki agunan menjadi disinsentif dan kendala
bagi perempuan pengusaha untuk menekuni
dunia usaha, meski
sebenarnya perempuan pengusaha
memiliki kekuatan dan potensi
khusus, tetapi secara nyata lebih berhati-hati dan realistis daripada laki-laki.
4. Tingkat Pendidikan Perempuan Rendah
Kecenderungannya adalah semakin
tinggi jenjang pendidikan, maka makin meningkat kesenjangan gendernya, proporsi
laki-laki yang bersekolah
semakin lebih besar
dibandingkan dengan proporsi
perempuan yang bersekolah.
Kesenjangan ini disebabkan
oleh berbagai hal
di antaranya adalah pertimbangan prioritas berdasarkan
nilai ekonomi anak, bahwa nilai ekonomi anak laki-laki lebih mahal dibandingkan
dengan nilai ekonomi anak perempuan.
Banyak dari pekerja-pekerja yang
hanya membutuhkan sedikit keterampilan ini menuntut migrasi ke kota besar atau
ke luar negeri, di mana perempuan menjadi target para pelaku trafficking dan
pihak lain yang berniat mengeksploitasi mereka.
Dengan rendahnya tingkat
pendidikan serta kurangnya keterampilan kerja yang memadai,
para perempuan yang masih gadis hanya mencari pekerjaan di sektor informal. Pekerjaan
di sektor informal
bagi perempuan yang
tidak berpendidikan biasanya
seperti pramuwisma, atau penjual minuman di kaki lima, pembantu rumah
tangga, penjaja makanan di terminal dan
stasiun, yang tidak
memperoleh perlindungan dari
pemerintah dan tenaga
kerja melalui serikat
buruh atau
majikan.
Pendidikan yang
minim dan tingkat
melek huruf yang
rendah semakin menyulitkan
perempuan untuk mencari pekerjaan. Jika akhirnya mendapat pekerjaan,
diposisikan pada bagian yang tidak memerlukan
keterampilan misalnya buruh,
tenaga suruhan, yang
memiliki pengupahan yang
sangat rendah, tidak mendapat
perlindungan hukum dan
juga kesehatan. Mereka
tidak tahu bagaimana
mengakses sumber daya yang
tersedia, karena tidak dapat membaca
dan menulis untuk mencari bantuan hukum ataupun rumah singgah jika
majikan mereka bertindak eksploitatif atau melakukan kekerasan, baik fisik, psikis,
maupun seksual.
Penutup
Dari pemaparan
tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa
dalam lintasan sejarah
pada awalnya pembagian
kerja, baik secara
biologi maupun gender
antara laki-laki dan
perempuan dianggap samasama memiliki nilai dan keseimbangan.
Perubahan tersebut muncul karena adanya penggeneralisasian perekonomian uang
yang diberlakukan, di
samping karena budaya
patriarkhi sehingga menimbulkan diskriminasi dalam
pekerjaan. Kondisi ini
diperparah dengan sistem
yang dipakai dalam
masyarakat modern dalam pekerjaan.
Akibat dari modernitas,
perempuan mengalami marginalisasi
dalam sektor pekerjaan yang
berakibat pada kecenderungan
perempuan untuk melakukan
pekerjaan informal yang
kurang memberikan perlindungan
hukum dan upah
yang rendah. Di
samping itu, faktor
subordinat perempuan dalam sosial maupun kultural, stereotipe terhadap
perempuan serta pendidikan yang rendah juga
turut mempengaruhi diskriminasi
perempuan dalam pekerjaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender.
Yogya, Pustaka Pelajar.
Alisjahbana, Armida
S. & Manning,
Chris (Oktober 2007),
“Trends and Constraints Associated
with Labor Faced by Non-Farm Enterprises”, Working Paper in Economics and Development Studies. Pusat Studi Ekonomi dan
Pembangunan, Fakultas Ekonomi,
Universitas Padjadjaran. Bandung, Indonesia
Bappenas (2010),
“Peta Jalan Percepatan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium”, Bapenas. Jakarta,
Indonesia
Budiman, Arif.
2000, Teori Pembangunan Dunia
Ketiga. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Fakih,
M., 1996, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Geertz, Clifford,
1992, Penjaja dan Raja,
Perubahan Sosial dan
Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia, Alih bahasa: S. Supomo,
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Kementrian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi
(2005), “Guidelines: Equal Employment Opportunity
in Indonesia”, Task Force
Equal Employment Opportunities,
ILO. Jakarta, Indonesia
No comments:
Post a Comment
Sila tinggalkan komentar. Nuwun.