Monday, February 9, 2015

Gender dan Sektor Informal





Latar Belakang



Partisipasi perempuan saat ini, bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Melihat potensi perempuan sebagai sumber daya manusia maka upaya menyertakan perempuan dalam proses pembangunan bukan hanya merupakan perikemanusiaan belaka, tetapi merupakan tindakan efisien karena tanpa mengikut sertakan perempuan dalam proses pembangunan berarti pemborosan dan memberi pengaruh negative terhadap lajunya pertumbuhan ekonomi (Pudjiwati, 1983). Partisipasi perempuan menyangkut peran tradisi dan transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Pada peran transisi wanita sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia (Sukesi, 1991).

Keterlibatan perempuan yang sudah kentara tetapi secara jelas belum diakui di Indonesia membawa dampak terhadap peranan perempuan dalam kehidupan keluarga. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat adalah semakin banyaknya perempuan membantu suami mencari tambahan penghasilan, selain karena didorong oleh kebutuhan ekonomi keluarga, juga perempuan semakin dapat mengekspresikan dirinya di tengah keluarga dan masyarakat. Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi kecenderungan perempuan untuk berpartisipasi di pasar kerja, agar dapat membantu meningkatkan perekonomian keluarga.

Pembagian kerja laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada aktivitas fisik yang dilakukan, di mana perempuan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki bertanggung jawab atas pekerjaan nafkah. Pekerjaan rumah tangga tidak dinilai sebagai pekerjaan karena alasan ekonomi semata dan akibatnya pelakunya tidak dinilai bekerja. Permasalahan yang muncul kemudian adalah pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari pekerjaan non produksi tidak menghasilkan uang, sedangkan pekerjaan produksi (publik) berhubungan dengan uang. Uang berarti kekuasaan, berarti akses yang besar ke sumber - sumber produksi, berarti status yang tinggi dalam masyarakat. Dalam perkembangan budaya, konsep tersebut di atas berakar kuat dalam adat istiadat yang kadang kala membelenggu perkembangan seseorang. Pantang keluar rumah, seorang anak perempuan harus mengalah untuk tidak melanjutkan sekolah, harus menerima upah yang lebih rendah, harus bekerja keras sambil menggendong anak, hanya karena dia perempuan (Keppi Sukesi, 1991).

Selama  satu dekade terakhir, partisipasi perempuan  di  pasar tenaga kerja mengalami peningkatan yang cukup nyata, meskipun persentasenya kecil jika dibandingkan dengan laki-laki. Perubahan ini menunjukkan  adanya  peningkatan  peran  perempuan  yang  sangat  berarti  dalam  kegiatan  ekonomi  di Indonesia.  Namun  demikian,  struktur  angkatan  kerja  perempuan  memiliki  tingkat  pendidikan  yang rendah. Dengan demikian, sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor informal atau pekerjaan yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan keterampilan canggih atau spesifik. Dalam perspektif gender, proporsi tenaga kerja perempuan  dan laki-laki di sektor informal  adalah  40% perempuan,  dan 60% laki-laki. Proporsi tenaga kerja perempuan di sektor informal ini mencakup 70% dari keseluruhan tenaga kerja perempuan.

Pekerjaan perempuan di sektor informal biasanya kurang memberikan jaminan perlindungan secara hukum dan jaminan kesejahteraan yang memadai, di samping kondisi kerja yang memprihatinkan serta pendapatan yang rendah. Namun demikian, meski perempuan mendapat upah hanya 70% dibandingkan laki-laki, tetapi  perempuan  telah  mengambil  porsi  45%  dari  seluruh partisipasi angkatan  kerja. Dalam area pertanian, perempuan mengalami porsi 48,65%, perdagangan perempuan mengambil porsi 23,44%. Sementara dalam area industri, tenaga kerja perempuan meliputi 13,44% dan jasa 12,24%. Pada aspek pertanian, di mana kebanyakan kaum perempuan menjadi tenaga kerja tanpa upah karena merupakan usaha  keluarga  sebanyak  80%.  Dari  data  tersebut,  dapat  dilihat  betapa  perempuan  kurang  mendapat akses  dan  keadilan  dalam  bidang  ekonomi.  Perempuan  masih  banyak  melakukan  pekerjaan  di  sektor informal  yang  tidak  memerlukan  keahlian  dan  keterampilan,  dan  tentunya  ini  berimplikasi  pada perlindungan hukum yang kurang, penerimaan upah yang tidak memadai, belum lagi beban ganda yang dirasakan.

Disadari, keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta seluruh penduduk baik laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku, dan sekaligus pemanfaat hasil pembangunan. Tuntutan akan kualitas sumber daya manusia (SDM) perempuan paling tidak memiliki dampak pada dua hal. Pertama, dengan kualitas yang dimiliki, perempuan akan menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Kedua, perempuan yang berkualitas turut mempengaruhi kualitas generasi penerus, mengingat fungsi reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia di masa datang. Tetapi pada kenyataannya, selama ini peran serta kaum perempuan dalam pelaksanaan program pembangunan masih belum dimanfaatkan secara optimal.        

Sektor Informal

Sebagai  bagian  dari  sistem  perekonomian  di  Indonesia,  keberadaan sektor  informal  memiliki  daya  serap  terhadap  tenaga  kerja  yang  cukup  besar  dan berperan sebagai sektor  penyangga  (buffer zone) yang sangat  lentur  dan  terbuka,  juga  memiliki  kaitan  erat  dengan  jalur  distribusi  barang  dan  jasa  di  tingkat  bawah,  dan  bahkan menjadi  ujung  tombak  pemasaran  yang  potensial (Bagong Suyanto dan Karnaji; 2005;46).

Konsep  sektor  informal,  jika  ditilik  dari  asal  muasalnya  sebenarnya  merupakan  suatu  jenis  teori  dualisme  baru  yang  pernah  populer  yang  dikembangkan dalam penjelasan klasik Boeke. Konsep tentang sektor informal  pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris pada tahun 1973  (Chris  Manning  dan  Tadjuddin  Noer  Effendi;1985;  75).

Sethuraman,  koordinator  tim  peneliti  ILO  yang  berasal  dari  Sri  Lanka  kemudian merumuskan beberapa ciri yang melekat pada pelaku sektor informal. Berdasarkan  hasil  penelitiannya  di  delapan  kota  dunia  ketiga,  Sethuraman menemukan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor informal ini kebanyakan berada  pada  usia  kerja  utama  (prime  age),  berpendidikan  rendah,  memiliki pendapatan  rendah  dibawah  upah  minimum,  modal  usaha  rendah,  sektor  ini umumnya  menampung  perpindahan  tenaga  kerja  dari  sektor  pertanian  serta memiliki  kemungkinan  untuk  mobilitas  vertikal  (Chris  Manning  dan  Tadjuddin Noer Effendi (ed);1985;90-94).

Rendahnya  pendapatan  pelaku  sektor  informal  dibawah  rata-rata pendapatan  pelaku  sektor  formal  memantik  kritik  keras  dari  ahli  yang  juga memiliki concern terhadap sektor ini. Dipak Mazumdar (Ibid;110-130), seorang ekonom  India  dari  Bank  Dunia  mengetengahkan  fakta yang  berbeda  bahwa pekerja di sektor informal memeroleh penghasilan yang bervariasi dan tidak ada bukti kuat bahwa pelaku di sektor ini secara menyeluruh lebih rendah daripada pendapatan pelaku sektor formal seperti buruh pabrik dan karyawan.

Sektor informal dengan segala persamaan dan perbedaan dengan sektor formal sering dipertukarkan dengan beragam istilah, diantaranya aktivitas  informal (informal  activity), kesempatan  kerja  yang  diciptakan  sendiri (self  employment),  ekonomi  bawah  tanah (underground  economy),  ekonomi pasar  gelap (black  market  economy),  ekonomi  bayangan (shadow  economy) maupun kerja sampingan (causal work) (Subarsono; 2002;25).

Peran Ganda Perempuan

Kemajuan ekonomi dan globalisasi membuat pasar kerja semakin kompleks. Dampak lain dari kemajuan tersebut, terlihat dari makin membaiknya status serta lowongan kerja bagi wanita. Walaupun angka partisipasi angkatan kerja wanita meningkat, namun tidak sedikit wanita yang bekerja penggal waktu atau bekerja di sektor informal. Hal ini berkaitan dengan peran peran ganda wanita sebagai ibu yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga termasuk membesarkan anak, serta sebagai pekerja perempuan (Dwiantini, 1995). Partisipasi wanita saat ini bukan sekedar menuntut persamaan hak, tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Partisipasi wanita menyangkut peran tradisi dan peran transisi, peran tradisi atau domestik mencakup peran wanita sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga.

Sementara peran transisi meliputi pengertian wanita sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. (C. Sukesi, 1991). Kecenderungan wanita untuk bekerja menimbulkan banyak implikasi antara lain melonggarnya ikatan keluarga, meningkatnya kenakalan remaja. Menurut Syamsiah Achmad (dalam Ichoromi, 1995) bahwa jumlah wanita pencari kerja akan semakin meningkat di sebagian wilayah dunia. ketidak adilan yang menimpa kaum wanita akan memunculkan persepsi bahwa wanita dilahirkan untuk melakukan pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan lebih rendah dengan imbalan yang rendah pula. Pekerjaan wanita selama ini umumnya terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestik),walaupun kini wanita mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis pekerjaan ini pun merupakan perpanjangan dari pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian manual. Di negara berkembang, tingkat pendidikan yang sangat rendah dengan ketrampilan rendah pula, memaksa wanita memasuki sektor informal yang sangat eksploitatif dengan gaji sangat rendah, jam kerja yang tidak menentu dan panjang, tidak ada cuti dengan bayaran penuh.

Rendahnya tingkat pendidikan wanita ini akan berdampak pada kedudukan mereka dalam pekerjaan dan upah yang mereka terima (Siti Hidayati dalam Ihromi, 1995). Hal serupa juga terjadi pada jenis usaha, artinya wanita yang melakukan usaha ekonomi yang sama dengan pria mendapatkan penghasilan yang lebih rendah. Ketertinggalan wanita pada peran transisi mereka adalah apabila ditelusuri lebih lanjut kelihatannya berpangkal pada pembagian pekerjaan secara seksual di dalam masyarakat di mana peran wanita yang utama adalah lingkungan rumah tangga dan peran pria yang utama di luar rumah sebagai pencari nafkah utama. Pembagian kerja secara seksual ini jelas tidak adil bagi wanita, sebab pembagian kerja seperti ini selain mengurung wanita juga menempatkan wanita pada kedudukan subordinat terhadap pria, sehingga cita-cita untuk mewujudkan wanita sebagai mitra sejajar pria, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat mungkin akan sulit terlaksana.

Faktor Penyebab Diskriminasi

Secara umum diskriminasi gender dalam sektor pekerjaan dilatarbelakangi oleh adanya keyakinan  gender  yang  keliru  di  tengah-tengah  masyarakat.  Peran  gender  (gender  role)  sebagai  bentuk  ketentuan sosial  diyakini  sebagai  sebuah  kodrat  sehingga  menyebabkan  ketimpangan  sosial  dan  hal  ini  sangat merugikan  posisi  perempuan  dalam  berbagai  komunitas  sosial  baik  dalam  pendidikan,  sosial  budaya, politik  dan  juga  ekonomi.  Di  sektor pekerjaan,  ketidakadilan  dapat  saja  terjadi karena  hal-hal sebagai berikut.

1.      Marginalisasi dalam Pekerjaan
Marginalisasi  secara  umum  dapat  diartikan  sebagai  proses  penyingkiran  perempuan  dalam pekerjaan. Sebagaimana dikutip oleh Saptari menurut Alison Scott, seorang ahli sosiologi Inggris melihat berbagai bentuk marginalisasi dalam empat bentuk yaitu: (1). Proses pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja tertentu, (2) Proses pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil,  upahnya  rendah,  dinilai  tidak  atau  kurang  terampil,  (3)  Proses  feminisasi  atau  segregasi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), atau pemisahan yang sematamata  dilakukan oleh  perempuan  saja  atau  laki-laki  saja.  (4) Proses  ketimpangan  ekonomi  yang  mulai  meningkat yang merujuk di antaranya perbedaan upah.

Marginalisasi  ini  merupakan  proses  pemiskinan  perempuan  terutama  pada  masyarakat  lapisan bawah yang kesejahteraan keluarga mereka sangat memprihatinkan. Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan akan tetapi juga dapat terjadi dalam rumah tangga, masyarakat, kultur, dan bahkan  negara.  Marginalisasi  terhadap  perempuan  sudah  terjadi  dalam  rumah  tangga  dalam  bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan.

Menurut  Irwan Abdullah,  ada  dua hal  yang  berkaitan  dengan ketimpangan  gender dalam  bentuk marginalisasi. Pertama, pekerjaan-pekerjaan  marginal yang dikerjakan perempuan  dapat dilihat sebagai akibat dari proses identifikasi perempuan terhadap apa-apa yang sesuai dengan sifat perempuan seperti yang sudah dikonstruksi secara sosial. Identifikasi ini merupakan proses pemaknaan diri dan hal-hal yang berkaitan  dengan  kehidupan  perempuan  sehingga  berbagai  faktor  diperhatikan  di dalamnya.  Dalam perspektif semacam ini kemudian ketimpangan gender tidak lain merupakan pilihan perempuan, bukan pemaksaan  terhadap  perempuan. Kedua,  berbagai  proses  telah  mereproduksi  sifat  perempuan  dan kenyataan  tentang  pekerjaan-pekerjaan  yang  sesuai dengan  sifat  keperempuanan  tersebut.  Tingkat absensi perempuan yang tinggi (karena perempuan membutuhkan cuti hamil) seringkali dijadikan alasan untuk tidak memilih tenaga kerja perempuan atau menempatkan perempuan dalam pekerjaan marginal.

Dengan demikian, pada kebanyakan keluarga miskin di  Indonesia, peran perempuan sebagai aset ekonomi rumah tangga menjadi sangat penting karena secara batin dan etos pengorbanan mereka bekerja untuk bertahan hidup atau paling tidak demi anaknya, meskipun dengan pendapatan sangat minim dan prasarana  yang  kurang  mendukung  keberadaannya.  Karenanya  dukungan  dan  kesempatan  bagi perempuan dalam memberdayakan dirinya dan lebih meningkatkan kesejahteraannya menjadi hal sangat strategis.

2.      Kedudukan Perempuan yang Subordinat dalam Sosial dan Budaya.
Peran gender dalam masyarakat ternyata juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap perempuan terutama  dalam  pekerjaan.  Anggapan  bahwa  perempuan  itu  irrasional  atau  emosional  menjadikan  perempuan  tidak  bisa  tampil  sebagai  pemimpin,  dan  ini  berakibat  pada  munculnya  sikap  yang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting.

Subordinat dapat terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke  waktu. Di Jawa misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya juga akan ke dapur. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan mendapatkan  prioritas utama. Praktik seperti itu  sesungguhnya  berangkat  dari kesadaran  gender yang tidak adil.

Di sektor publik, masalah umum yang dihadapi perempuan dalam pekerjaan adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang upahnya rendah, kondisi kerja buruk, dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal ini berlaku khusus bagi perempuan berpendidikan menengah ke bawah. Pekerjaan di kota adalah sebagai buruh pabrik, sedangkan di pedesaan adalah sebagai buruh tani. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal  tersebut  tidak  semata-mata  disebabkan  faktor  pendidikan.  Dari  kalangan  pengusaha  sendiri, terdapat preferensi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah dari laki-laki.

3.      Stereotipe terhadap Perempuan
Stereotipe  secara  umum  diartikan  sebagai  pelabelan  atau  penandaan  terhadap  suatu  kelompok tertentu. Pada kenyataannya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan diskriminasi. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin  tertentu,  umumnya  perempuan,  yang  bersumber  dari  penandaan  (stereotype)  yang  dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu  dikaitkan  dengan  stereotipe  ini.  Bahkan  jika  ada  pemerkosaan  yang  dialami  oleh  perempuan, masyarakat  berkecenderungan  menyalahkan  korbannya.  Masyarakat  memiliki  anggapan  bahwa  tugas utama  kaum  perempuan  adalah  melayani  suami.  Stereotipe  ini  berakibat  wajar  sekali  jika  pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.

Diskriminasi  upah yang terjadi secara eksplisit  maupun implisit, seringkali memanipulasi ideologi gender  sebagai  pembenaran.  Ideologi  gender  merupakan  aturan,  nilai,  stereotipe  yang  mengatur hubungan  antara perempuan  dan  laki-laki terlebih dahulu melalui  pembentukan  identitas  feminin  dan maskulin. Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka pada saat ia masuk ke sektor publik  sah-sah  saja  untuk  memberikan  upah  lebih  rendah  karena  pekerjaan  di  sektor  publik  hanya sebagai sampingan untuk membantu suami.

Beberapa  alasan  yang  menyebabkan  rendahnya  angka  partisipasi  perempuan  dalam  kerja  adalah, Pertama,  menyangkut  persepsi  mengenai  kerja  (yang  dilakukan)  perempuan  berkaitan  dengan  peran domestik  perempuan, kedua,  berkaitan  dengan  persepsi  tersebut  adalah  perangkat  pengukuran, penentuan, atau pendefinisian pekerjaan perempuan, dan yang ketigaadalah sifat musiman, paruh waktu, dan  informal  dari  kebanyakan  pekerjaan  perempuan.  Gambaran  tersebut  memperlihatkan  bahwa hambatan  mobilitas  yang  mengakibatkan  lemahnya  informasi  pasar,  layanan  usaha,  keterbatasan mengakses jaringan bisnis, serta tidak memiliki agunan menjadi disinsentif dan kendala bagi perempuan pengusaha  untuk  menekuni  dunia  usaha,  meski  sebenarnya  perempuan  pengusaha  memiliki  kekuatan dan potensi khusus, tetapi secara nyata lebih berhati-hati dan realistis daripada laki-laki.

4.      Tingkat Pendidikan Perempuan Rendah
Kecenderungannya adalah semakin tinggi jenjang pendidikan, maka makin meningkat kesenjangan gendernya,  proporsi  laki-laki  yang  bersekolah  semakin  lebih  besar  dibandingkan  dengan  proporsi  perempuan  yang  bersekolah.  Kesenjangan  ini  disebabkan  oleh  berbagai  hal  di  antaranya  adalah pertimbangan prioritas berdasarkan nilai ekonomi anak, bahwa nilai ekonomi anak laki-laki lebih mahal dibandingkan dengan nilai ekonomi anak perempuan.

Banyak dari pekerja-pekerja yang hanya membutuhkan sedikit keterampilan ini menuntut migrasi ke kota besar atau ke luar negeri, di mana perempuan menjadi target para pelaku trafficking dan pihak lain yang  berniat  mengeksploitasi  mereka.  Dengan  rendahnya  tingkat  pendidikan  serta  kurangnya keterampilan kerja yang memadai, para perempuan yang masih gadis hanya mencari pekerjaan di sektor informal.  Pekerjaan  di  sektor  informal  bagi  perempuan  yang  tidak  berpendidikan  biasanya  seperti pramuwisma, atau penjual minuman di kaki lima, pembantu rumah tangga, penjaja makanan di terminal dan  stasiun,  yang  tidak  memperoleh  perlindungan  dari  pemerintah  dan  tenaga  kerja  melalui  serikat
buruh atau majikan.

Pendidikan  yang  minim  dan  tingkat  melek  huruf  yang  rendah  semakin  menyulitkan  perempuan untuk mencari pekerjaan. Jika akhirnya mendapat pekerjaan, diposisikan pada bagian yang tidak memerlukan  keterampilan  misalnya  buruh,  tenaga  suruhan,  yang  memiliki  pengupahan  yang  sangat  rendah, tidak  mendapat  perlindungan  hukum  dan  juga  kesehatan.  Mereka  tidak  tahu  bagaimana  mengakses sumber  daya yang tersedia, karena tidak  dapat  membaca  dan menulis untuk mencari bantuan hukum ataupun rumah singgah jika majikan mereka bertindak eksploitatif atau melakukan kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.

Penutup

Dari  pemaparan  tersebut  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  dalam  lintasan  sejarah  pada awalnya pembagian  kerja,  baik  secara  biologi  maupun  gender  antara  laki-laki  dan  perempuan  dianggap  samasama memiliki nilai dan keseimbangan. Perubahan tersebut muncul karena adanya penggeneralisasian perekonomian  uang  yang  diberlakukan,  di  samping  karena  budaya  patriarkhi  sehingga  menimbulkan diskriminasi  dalam  pekerjaan.  Kondisi  ini  diperparah  dengan  sistem  yang  dipakai  dalam  masyarakat modern  dalam  pekerjaan.  Akibat  dari  modernitas,  perempuan  mengalami  marginalisasi  dalam  sektor pekerjaan  yang  berakibat  pada  kecenderungan  perempuan  untuk  melakukan  pekerjaan informal  yang kurang  memberikan  perlindungan  hukum  dan  upah  yang  rendah.  Di  samping  itu,  faktor  subordinat perempuan dalam sosial maupun kultural, stereotipe terhadap perempuan serta pendidikan yang rendah juga  turut  mempengaruhi  diskriminasi  perempuan  dalam  pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogya, Pustaka Pelajar.
Alisjahbana,  Armida  S.  &  Manning,  Chris  (Oktober  2007),  “Trends  and Constraints Associated with Labor Faced by Non-Farm Enterprises”, Working Paper in Economics and Development Studies. Pusat Studi Ekonomi dan Pembangunan,  Fakultas  Ekonomi,  Universitas  Padjadjaran.  Bandung, Indonesia
Bappenas  (2010),  “Peta  Jalan  Percepatan  Pencapaian  Tujuan  Pembangunan Milenium”, Bapenas. Jakarta, Indonesia
Budiman,  Arif.   2000,  Teori  Pembangunan  Dunia  Ketiga.  Gramedia  Pustaka Utama: Jakarta.
Fakih, M., 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Geertz,  Clifford,  1992,  Penjaja  dan  Raja,  Perubahan  Sosial  dan  Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia, Alih bahasa: S. Supomo, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Kementrian  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi  (2005),  “Guidelines:  Equal Employment  Opportunity  in  Indonesia”,  Task  Force  Equal  Employment Opportunities, ILO. Jakarta, Indonesia

No comments:

Post a Comment

Sila tinggalkan komentar. Nuwun.