Thursday, February 12, 2015

Teori Migrasi Internasional: Suatu Tinjauan dan Penilaian (Part 1)

Bagi para akademisi, peneliti, pemerintah dan pemangku kepentingan mengenai ketenagakerjaan dan migrasi, sangat penting untuk mengerti dan memahami teori - teori migrasi Internasional mengingat Indonesia adalah salah satu negara pengirim tenaga kerja keluar yang cukup besar. 

Berikut saya ulas kembali tulisan dari Population and Development Review Vol. 19, No. 3 (Sep., 1993), pp. 431-466, semoga bermanfaat.


Selama lebih dari 30 tahun, migrasi telah muncul sebagai kekuatan utama di seluruh dunia. Masyarakat tradisional penerima imigran seperti Australia, Kanada dan Amerika Serikat memiliki volume imigrasi yang telah tumbuh pesat, sekarang ini telah bergeser dari Eropa menuju Asia, Afrika dan Amerika Latin. Di Eropa sendiri, setelah selama berabad – abad mengirimkan migran, sekarang kondisinya berbalik di mana negara mereka menerima imigran. Setelah tahun 1945, hampir semua Negara di Eropa Barat mulai menarik sejumlah besar pekerja dari luar negeri. Awalnya mereka mengambil migran dari Eropa Selatan, namun pada tahun 1960-an, sebagian pekerja berasal dari negara – negara berkembang di Afrika, Asia, Karibia dan Timur Tengah.

Pada tahun 1980, negara di Eropa selatan seperti Italia, Spanyol dan Protugal yang pada dekade sebelumnya mengirimkan migran ke negara – negara kaya Eropa di utara juga mulai mengimpor pekerja dari Afrika, Asia dan Timur Tengah. Pada saat yang sama di Jepang, Negara dengan tingkat kelahiran yang rendah dan cenderung menurun, serta populasi orang tua yang terus meningkat dan dan standar hidup yang tinggi akhirnya mendatangkan pekerja dari negara Asia dan Amerika Selatan yang lebih miskin.

Sebagian besar negara - negara maju di dunia yang beragam multi-etnis yang belum mencapai keadaan ini mulai bergerak ke arah itu. Munculnya migrasi internasional sebagai fitur struktural dasar negara di hampir semua negara industri membuktikan kekuatan dan koherensi yang mendasarinya. Namun dasar teoritis yang memahami kekuatan ini masih lemah. Fenomena ledakan migrasi internasional ini telah membuat keterkejutan masyarakat, pemerintah hingga ahli demografi karena masih terperangkap oleh pemikiran abad ke- 19 tentang konsep, model dan asumsi migrasi.

Saat ini, tidak ada satu teori yang koheren dari migrasi internasional yang menfragmentasi teori serta memeliki keterkaitan dengan segmentasi batas – batas disiplin tertentu. Pola tren migrasi saat ini menunjukkan secara penuh proses migrasi kontemporer tidak akan tercapai apabila hanya mengandalkan satu alat disiplin yang berfokus hanya pada tingkat analisis. Namun berlaku sebaliknya, migrasi memeliki sifat multifaset yang memerlukan teori canggih yang menggabungkan berbagai perspektif, tingkat, dan asumsi.

Tujuan dari tulisan ini untuk menjelaskan dan mengintegrasikan teori kontemporer yang berkontemplasi dengan migrasi intenasional. Dimulai dengan melihat model inisiasi gerakan internasional, kemudian mempertimbangkan teori – teori yang menjelaskan mengapa arus penduduk transnasional bertahan melintasi ruang dan waktu. Kami berusaha untuk memberikan dasar yang kuat untuk mengevaluasi model empiris, dan untuk meletakkan dasar untuk membangun teori yang akurat dan komprehensif untuk migrasi internasional untuk abad kedua puluh satu

Inisiasi migrasi internasional

Berbagai model teoritis telah diusulkan untuk menjelaskan mengapa migrasi internasional dimulai, dan meskipun masing-masing akhirnya berusaha untuk menjelaskan hal yang sama, mereka menggunakan konsep-konsep, asumsi, dan kerangka acuan yang sangat berbeda. Ekonomi neoklasik berfokus pada perbedaan upah dan kondisi-kondisi kerja antar negara, dan biaya migrasi; umumnya dipahami sebagai gerakan yang melihat keputusan individu untuk memaksimalkan pendapatan. Ilmu ekonomi migrasi baru, sebaliknya menganggap kondisi di berbagai pasar, bukan hanya pasar tenaga kerja. Ini memandang migrasi sebagai keputusan rumah tangga diambil untuk meminimalkan risiko terhadap pendapatan keluarga atau untuk mengatasi kendala modal pada kegiatan produksi keluarga. Teori pasar tenaga kerja ganda dan teori sistem dunia umumnya mengabaikan proses keputusan tingkat mikro tersebut, bukan fokus pada kekuatan yang beroperasi pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari agregasi.

Mengingat fakta bahwa teori mengkonsepkan proses kausal pada tingkat yang berbeda seperti analisis-individu, rumah tangga, nasional, dan internasional mereka tidak dapat diasumsikan secara apriori, untuk menjadi inheren tidak kompatibel. Hal ini sangat mungkin, misalnya, bahwa individu bertindak untuk memaksimalkan pendapatan sementara keluarga meminimalkan risiko, dan bahwa konteks di mana kedua keputusan dibuat dibentuk oleh kekuatan struktural yang beroperasi di tingkat nasional dan internasional. Meskipun demikian, berbagai model mencerminkan tujuan penelitian yang berbeda, fokus, minat, dan cara-cara membuat subjek yang sangat kompleks menjadi bagian-bagian analitis; dan dasar yang kuat untuk menilai konsistensi mereka mensyaratkan bahwa logika batin, proposisi, asumsi, dan hipotesis dari masing-masing teori secara jelas ditentukan dan dipahami dengan baik.

1.  Ekonomi neoklasik: Teori Makro
   
   Mungkin teori tertua dan paling terkenal dari migrasi internasional awalnya dikembangkan untuk menjelaskan migrasi tenaga kerja dalam proses pembangunan ekonomi (Lewis, 1954; Ranis dan Fei, 1961; Harris dan Todaro, 1970; Todaro, 1976) . Menurut teori ini, migrasi internasional disebabkan oleh perbedaan geografis dalam penyediaan dan permintaan tenaga kerja. Negara-negara dengan anugerah besar tenaga kerja relatif terhadap modal memiliki upah ekuilibrium pasar yang rendah, sementara negara-negara dengan sumbangan terbatas tenaga kerja relatif dengan upah pasar yang tinggi, seperti yang digambarkan secara grafis oleh interaksi penawaran tenaga kerja dan kurva permintaan. Diferensial upah menyebabkan pekerja dari negara upah rendah untuk pindah ke negara dengan upah tinggi. Sebagai hasil dari gerakan ini, pasokan menurun dan upah tenaga kerja meningkat di negara miskin, sedangkan pasokan meningkat dan upah tenaga kerja jatuh di negara modal kaya.

       Pencerminan arus pekerja dari negara-negara langka ke tenaga kerja yang berlimpah adalah aliran modal investasi dari modal kaya ke negara-negara dengan miskin modal. Kelangkaan modal relatif di negara-negara miskin menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi menurut standar internasional, sehingga menarik investasi. Pergerakan modal juga termasuk sumber daya manusia, dengan pekerja terampil bergerak dari modal kaya ke negara-negara miskin modal dalam rangka untuk menuai keuntungan tinggi pada keterampilan mereka dalam lingkungan langka modal manusia, yang mengarah ke gerakan paralel manajer, teknisi, dan pekerja terampil lainnya. Aliran kerja internasional, oleh karena itu, harus dijaga secara konseptual berbeda dari aliran internasional terkait sumber daya manusia. Bahkan dalam model makro, heterogenitas imigran sepanjang garis keterampilan harus jelas untuk dikenali.

       Penjelasan sederhana dan menarik migrasi internasional yang ditawarkan oleh makro ekonomi neo-klasik telah sangat membentuk pemikiran publik dan telah memberikan dasar intelektual bagi banyak kebijakan imigrasi. Perspektif berisi beberapa proposisi implisit dan asumsi:
  
  1.      Migrasi pekerja internasional disebabkan oleh perbedaan tingkat upah antar negara.
  2.      Penghapusan perbedaan upah akan mengakhiri pergerakan tenaga kerja, dan migrasi tidak akan terjadi tanpa adanya perbedaan tersebut.
  3.       Arus modal internasional, di mana manusia sangat terampil menanggapi perbedaan dalam tingkat pengembalian modal manusia, yang mungkin berbeda dari tingkat upah secara keseluruhan, menghasilkan pola yang berbeda dari migrasi yang mungkin berlawanan yakni pekerja tidak terampil.
  4.        Pasar Tenaga Kerja adalah mekanisme utama dimana arus kerja internasional yang diinduksi; jenis lain dari pasar tidak memiliki efek penting pada migrasi internasional.
  5.         Cara bagi pemerintah untuk mengendalikan arus migrasi adalah untuk mengatur atau pasar tenaga kerja berpengaruh di dalam mengirim dan / atau menerima imgiran.

 2.  Neoklasik ekonomi: Teori Mikro

Model mikro ekonomi pilihan individu (Sjaastad, 1962; Todaro, 1969, 1976, 1989; Todaro dan Maruszko, 1987). Dalam skema ini, rasionalitas individu memutuskan untuk bermigrasi karena perhitungan biaya yang membuat mereka mengharapkan kembali dalam keadaan yang positif. Migrasi internasional dikonseptualisasikan sebagai bentuk investasi  modal manusia. Orang memilih untuk pindah ke mana mereka dapat menjadi lebih produktif, mengingat keterampilan mereka; tapi sebelum mereka dapat menangkap upah yang lebih tinggi terkait dengan produktivitas tenaga kerja yang lebih besar mereka harus melakukan investasi tertentu, yang meliputi biaya bahan perjalanan, biaya pemeliharaan saat bergerak dan mencari pekerjaan, berupaya belajar bahasa dan budaya baru , kesulitan yang dialami dalam beradaptasi dengan pasar tenaga kerja yang baru, dan biaya psikologis memutuskan hubungan lama dan penempaan yang baru.

Potensi migran memperkirakan biaya dan manfaat pindah ke lokasi internasional alternatif dan bermigrasi ke tempat dengan laba bersih yang diharapkan adalah yang terbesar selama beberapa waktu (Borjas, 1990). Laba bersih pada setiap periode masa depan diperkirakan dengan mengambil laba yang diamati sesuai dengan keterampilan individu di negara tujuan dan mengalikan ini dengan peluang mendapatkan pekerjaan di sana (dan untuk para imigran gelap kemungkinan bisa menghindari deportasi). Pendapatan yang diharapkan ini kemudian dikurangi dari yang diharapkan dalam komunitas asal (diamati laba ada dikalikan dengan probabilitas lapangan kerja) dan perbedaan tersebut dijumlahkan selama jangka waktu dari 0 sampai n, diskon oleh faktor yang mencerminkan utilitas yang lebih besar dari uang yang diperoleh pada saat ini daripada di masa depan. 

Dari perbedaan terpadu ini, estimasi biaya dikurangi untuk menghasilkan kembali bersih yang diharapkan migrasi


ER (O) FFL [PI (t) P2 (t) Yot) - P3 (t) Yot)] erdt - C (0) (1)

Keterangan:
ER (0) : pengembalian bersih diharapkan (dihitung sebelum keberangkatan di waktu 0)
T        : waktu
P1 (t) : probabilitas menghindari deportasi dari daerah tujuan
P2 (t)  : probabilitas kerja di tempat tujuan
Yd (t)  : laba jika bekerja di tempat tujuan
P3 (t)  : probabilitas kerja di komunitas asal
Yo (t)  : pendapatan jika digunakan dalam komunitas asal
R        : faktor diskonto
C. (O) :jumlah total biaya gerakan (termasuk biaya psikologis)

Beberapa kesimpulan penting yaitu:
  1. Gerakan Internasional berasal dari perbedaan baik dalam pendapatan dan tingkat lapangan kerja dengan produk pendukungnya, yaitu laba (menjadi full employment).
  2. karakteristik modal individu yang meningkatkan tingkat kemungkinan remunerasi atau kemungkinan kerja di tujuan relatif terhadap negara pengirim (misalnya, pendidikan, pengalaman, pelatihan, keterampilan bahasa) akan meningkatkan kemungkinan gerakan internasional.
  3. Karakteristik individu, kondisi sosial, atau teknologi biaya migrasi yang lebih rendah meningkatkan laba bersih untuk migrasi.
  4. Setiap individu dalam negara yang sama dapat menampilkan kecenderungan yang sangat berbeda untuk bermigrasi.
  5. Agregat migrasi mengalir di antara negara-negara yang secara individu dan sederhana bergerak dilakukan atas dasar perhitungan manfaat biaya.
  6. Gerakan Internasional tidak terjadi karena tidak adanya perbedaan pendapatan dan / atau tingkat penyerapan tenaga kerja antar negara. Migrasi terjadi sampai pendapatan yang diharapkan (produk dari pendapatan dan tingkat lapangan kerja) telah menyamakan kedudukan internasional (setelah dikurangi dengan biaya gerakan), dan gerakan tidak berhenti sampai produk ini telah mempunyai kedudukan sama.
  7. Ukuran diferensial dalam pengembalian yang diharapkan menentukan ukuran arus internasional migran antar negara.
  8. keputusan Migrasi berasal dari disequilibria atau diskontinuitas antara pasar tenaga kerja.
  9. Jika kondisi di negara-negara penerima secara psikologis menarik bagi calon migran, biaya migrasi mungkin negatif.
  10. Pemerintah mengendalikan imigrasi terutama melalui kebijakan yang mempengaruhi laba yang diharapkan dalam mengirim dan / atau menerima warga negara lain.

 3.  Ekonomi baru migrasi

Teori ekonomi migrasi baru telah muncul untuk menantang banyak asumsi dan kesimpulan dari teori neoklasik (Stark dan Bloom, 1985). Kunci pendekatan baru ini adalah keputusan migrasi tidak dibuat oleh aktor individu yang terisolasi, tetapi dengan unit yang lebih besar dari orang terkait biasanya keluarga atau rumah tangga di mana orang bertindak secara kolektif tidak hanya untuk memaksimalkan pendapatan yang diharapkan, tetapi juga untuk meminimalkan risiko dan untuk melonggarkan kendala yang terkait dengan berbagai kegagalan pasar, selain dari orang-orang di pasar tenaga kerja (Stark dan Levhari, 1982; Stark, 1984; Katz dan Stark, 1986; Lauby dan Stark, 1988; Taylor, 1986; Stark, 1991).

Tidak seperti individu, rumah tangga berada dalam posisi untuk mengendalikan risiko terhadap kesejahteraan ekonomi mereka dengan melakukan diversifikasi alokasi sumber daya rumah tangga, seperti tenaga kerja keluarga. Sementara beberapa anggota keluarga dapat diberikan kegiatan ekonomi di ekonomi lokal, orang lain mungkin akan dikirim untuk bekerja di pasar tenaga kerja asing di mana upah dan kondisi kerja berkorelasi negatif atau lemah berkorelasi dengan orang-orang di daerah setempat. Dalam hal kondisi ekonomi lokal memburuk dan kegiatan di sana gagal untuk membawa hasil yang memadai, rumah tangga dapat mengandalkan pengiriman uang migran (remiten) untuk dukungan kebutuhan sehari – hari dan modal usaha.

Di negara maju, risiko terhadap pendapatan rumah tangga umumnya diminimalkan melalui pasar asuransi swasta atau program pemerintah, tetapi di negara berkembang mekanisme kelembagaan untuk mengelola risiko yang tidak sempurna, tidak ada, atau tidak dapat diakses bagi keluarga miskin, memberi mereka insentif untuk diversifikasi risiko melalui migrasi. Di negara maju, apalagi, pasar kredit relatif berkembang dengan baik yang memungkinkan keluarga untuk membiayai proyek-proyek baru, seperti penerapan teknologi produksi baru. Di sebagian besar wilayah berkembang, sebaliknya, kredit biasanya tidak tersedia atau bisa didapat hanya dengan biaya yang tinggi. Dengan tidak adanya program asuransi dan kredit swasta publik atau terjangkau diakses, kegagalan pasar menciptakan tekanan yang kuat untuk gerakan internasional.

a)  Pasar asuransi tanaman (Crop Insurance Market).

Setiap kali keluarga petani menghabiskan waktu dan uang ke dalam tanaman, mereka bertaruh bahwa investasi akan terbayar di masa mendatang dalam bentuk produk yang dapat dijual menjadi uang tunai yang berguna untuk membeli barang yang diinginkan atau dapat dikonsumsi secara langsung untuk subsisten. Antara waktu tanaman ditanam dan dipanen, karena peristiwa manusia atau alam yang dapat mengurangi atau menghilangkan panen, meninggalkan keluarga dengan penghasilan cukup atau makanan untuk subsistensi. Demikian juga, pengenalan teknologi pertanian baru (seperti benih unggul atau metode baru budidaya) dapat mengubah tujuan dan / atau subjektif risiko yang dihadapi rumah tangga petani.

Di negara maju, risiko obyektif dan subyektif dikelola melalui pengaturan asuransi formal, dimana produsen pertanian membayar biaya untuk sebuah perusahaan atau instansi pemerintah untuk memastikan tanaman terhadap kerugian di masa depan. Lembaga mengasuransikan mengasumsikan risiko pada tanaman masa depan, adanya kekeringan atau banjir menghancurkan panen, membayar produsen untuk nilai pasar tertanggung dari tanaman, sehingga ada jaminan kesejahteraan ekonomi keluarga. Jika asuransi tanaman tidak tersedia, keluarga memiliki insentif untuk mengasuransikan diri dengan mengirimkan satu atau lebih pekerja di luar negeri untuk mengirimkan pendapatan ke rumah, sehingga menjamin pendapatan keluarga bahkan jika panen gagal.

b) Pasar berjangka (futures market)

Setiap kali rumah tangga menabur tanaman yang menghasilkan uang, diasumsikan bahwa tanaman, saat panen, bisa dijual dengan harga yang cukup untuk mempertahankan keluarga atau meningkatkan kesejahteraan. Dalam membuat taruhan ini, ada risiko bahwa harga untuk tanaman dapat turun di bawah tingkat yang diharapkan. Di negara maju, risiko harga dikelola melalui pasar berjangka yang memungkinkan petani untuk menjual seluruh atau sebagian dari hasil panen mereka dengan harga yang dijamin. Investor menanggung risiko kerugian jika harga jatuh di bawah harga, dan mereka menuai laba jika harga naik di atas harga beli ke patani. Sebagian besar negara berkembang tidak memiliki pasar berjangka, dan ketika mereka ada, rumah tangga tani miskin umumnya tidak memiliki akses kepada mereka. Migrasi menawarkan mekanisme yang keluarga petani dapat mengasuransikan diri terhadap risiko pendapatan yang berasal dari fluktuasi harga tanaman.

c)  Asuransi untuk pengangguran (unemployment insurance)

keluarga bukan petani serta banyak pertanian rumah tangga, tergantung pada upah yang diterima. Jika kondisi ekonomi lokal memburuk dan tingkat pekerjaan turun, atau jika ada anggota keluarga yang terluka dan tidak bisa bekerja, mata pencaharian rumah tangga dapat terancam oleh penurunan atau hilangnya pendapatan. Di negara-negara kaya, pemerintah melanjutkan program asuransi yang melindungi pekerja dan keluarga mereka dari resiko ini, tetapi di negara-negara miskin program pengangguran dan cacat tersebut tidak ada atau tidak lengkap dalam usia tua mereka, sekali lagi memberikan keluarga insentif untuk mengasuransikan diri dengan mengirimkan TKI ke luar negeri.

Jika kondisi kerja di pasar tenaga kerja asing dan lokal berkorelasi atau tidak berkorelasi, maka migrasi internasional menyediakan cara untuk mengurangi risiko terhadap upah keluarga dan menjamin aliran diandalkannya pendapatan, dalam bentuk pengiriman uang, untuk mendukung keluarga.  Terlebih lagi, migrasi memenuhi fungsi asuransi atau apakah tidak ada remiten dari migran benar-benar diamati. Para migran menandatangani kontrak yang hanya perlu membayar jika ada  kerugian. Adanya pengaturan asuransi implisit maupun eksplisit, bagaimanapun, dapat memiliki efek penting pada perilaku ekonomi rumah tangga, dan keinginan untuk memperoleh asuransi ini dapat menjadi motivasi utama bagi keluarga untuk berpartisipasi dalam migrasi internasional.

d)  Modal Pasar (Market capital)

Rumah Tangga mungkin ingin untuk meningkatkan produktivitas aset mereka, tetapi untuk melakukannya mereka perlu mendapatkan modal untuk melakukan investasi tambahan. Keluarga petani, misalnya, mungkin berusaha untuk mengairi ladang mereka, menerapkan pupuk, membeli bibit ilmiah, atau memperoleh mesin, tetapi mereka mungkin tidak memiliki uang untuk membeli input tersebut. Keluarga non-pertanian mungkin berusaha untuk berinvestasi dalam pendidikan atau pelatihan anggota rumah tangga, atau untuk memperoleh barang modal yang dapat digunakan untuk memproduksi barang untuk dijual di pasar konsumen, tapi sekali lagi mereka mungkin kurang uang untuk menutupi biaya-biaya tersebut. Di negara maju, investasi didanai baik melalui tabungan pribadi atau pinjaman, yang keduanya sangat dibantu oleh akses ke sistem perbankan yang sehat dan efisien. Pinjaman juga dapat memberikan perlindungan terhadap risiko konsumsi jika pendapatan adalah variabel. Di banyak negara berkembang, bagaimanapun, lembaga tabungan tidak dapat diandalkan, dan orang-orang enggan untuk mempercayakan tabungan mereka kepada mereka.

Di negara-negara miskin, dana yang dibutuhkan juga mungkin sulit untuk di pinjam karena keluarga tidak memiliki agunan untuk memenuhi syarat untuk pinjaman, karena ada kelangkaan modal pinjaman, atau karena sistem perbankan menyediakan cakupan lengkap, melayani terutama kebutuhan makmur. Untuk keluarga miskin, satu-satunya akses nyata untuk pinjaman sering dari rentenir lokal yang mengenakan tingkat bunga yang tinggi, membuat biaya transaksi mahal. Dalam keadaan ini, migrasi menjadi menarik sebagai alternatif sumber modal untuk membiayai belas kasih dalam produktivitas dan menjamin stabilitas di konsumsi, dan keluarga memiliki insentif yang kuat untuk mengirim satu atau lebih pekerja di luar negeri untuk mengumpulkan tabungan atau untuk mentransfer modal kembali bentuk pengiriman uang. 

Ekonomi baru migrasi juga mempertanyakan asumsi bahwa pendapatan memiliki efek konstan pada utilitas untuk seorang migrant, misalnya peningkatan nyata $ 100 dalam pendapatan berarti hal yang sama kepada seseorang berarti terlepas dari kondisi masyarakat setempat dan terlepas dari jabatannya dalam distribusi pendapatan. Para ahli teori ekonomi baru berpendapat sebaliknya, bahwa rumah tangga mengirim TKI ke luar negeri tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan secara absolut, tetapi juga untuk meningkatkan pendapatan relatif terhadap rumah tangga lainnya, dan karenanya untuk mengurangi kekurangan relatif mereka dibandingkan dengan beberapa referensi  kelompok (lihat Stark , Taylordan Yitzhaki, 1986, 1988; Stark dan Yitzhaki, 1988; Stark dan Taylor, 1989, 1991; Stark, 1991).

Konsep ini melihat bahwa pendapatan relatif mempertimbangkan peningkatan pendapatan rumah tangga makmur. Jika pendapatan rumah tangga miskin tidak berubah, maka meningkat kekurangan relatif mereka. Jika utilitas rumah tangga terkena dampak negatif deprivasi relatif, maka meskipun pendapatan mutlak dan diharapkan keuntungan rumah tangga miskin dari migrasi tetap tidak berubah, insentif untuk berpartisipasi dalam peningkatan migrasi internasional, jika dengan mengirimkan anggota keluarga di luar negeri, dapat berharap untuk menuai relatif gain pendapatan. Kemungkinan migrasi tumbuh karena perubahan dalam pendapatan rumah tangga lain. Kegagalan pasar yang membatasi peluang pendapatan lokal untuk rumah tangga miskin juga dapat meningkatkan daya tarik migrasi sebagai jalan untuk mempengaruhi keuntungan dalam pendapatan relatif.

Model hipotesa teoritisnya adalah:
  1. Keluarga, rumah tangga, atau unit lainnya didefinisikan budaya produksi dan konsumsi merupakan unit analisis yang sesuai untuk penelitian migrasi, bukan individu yang otonom.
  2. Perbedaan upah bukanlah kondisi yang diperlukan untuk migrasi internasional; rumah tangga mungkin memiliki insentif yang kuat untuk diversifikasi risiko melalui gerakan transnasional bahkan tanpa adanya perbedaan upah.
  3. Migrasi internasional dan produksi tenaga kerja lokal atau lokal tidak saling kemungkinan eksklusif. Memang, ada insentif yang kuat bagi rumah tangga untuk terlibat dalam kedua migrasi dan aktivitas lokal. Bahkan, peningkatan kembali ke kegiatan ekonomi lokal dapat meningkatkan daya tarik migrasi sebagai sarana untuk mengatasi modal dan resiko kendala pada investasi di kegiatan tersebut. Dengan demikian, pembangunan ekonomi dalam wilayah pengiriman tidak perlu mengurangi tekanan untuk migrasi internasional.
  4. Gerakan Internasional tidak selalu berhenti ketika perbedaan upah telah dieliminasi melintasi batas-batas nasional. Insentif untuk migrasi dapat terus ada jika pasar lain di negara-negara pengirim tidak hadir, tidak sempurna, atau dalam disequilibria.
  5. Keuntungan yang diharapkan sama dengan pendapatan tidak akan memiliki efek yang sama pada kemungkinan migrasi untuk rumah tangga yang terletak di berbagai titik dalam distribusi pendapatan.
  6. Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat migrasi tidak hanya melalui kebijakan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja, tetapi juga melalui orang-orang bahwa pasar asuransi, pasar modal, dan pasar berjangka. Program asuransi pemerintah, khususnya asuransi pengangguran, dapat mempengaruhi secara signifikan insentif bagi gerakan internasional.
  7. Kebijakan pemerintah dan perubahan ekonomi yang distribusi pendapatannya akan mengubah kekurangan relatif dari beberapa rumah tangga dan dengan demikian mengubah insentif mereka untuk bermigrasi. Kebijakan pemerintah  dan perubahan ekonomi yang mempengaruhi distribusi pendapatan akan mempengaruhi independen migrasi internasional. Bahkan, kebijakan pemerintah yang menghasilkan pendapatan rata-rata lebih tinggi di daerah migran pengirim dapat meningkatkan migrasi jika rumah tangga yang relatif miskin tidak berbagi dalam keuntungan pendapatan. Sebaliknya, kebijakan dapat mengurangi migrasi jika rumah tangga yang relatif kaya tidak berbagi dalam keuntungan. 


DAFTAR PUSTAKA

Chayanov,  Alexander  V.  1966.  Theory  of  Peasant  Economy.  Homewood,  Ill.:  Richard  D. Irwin.
Fawcett,  James  T.  1989.  "Networks,  linkages,  and  migration  systems."  International  Migration Review  23:  671-680.
Greenwood, Michael J. 1981. Migration  and Economic  Growth  in  the  United  States.  New York: Academic  Press.
Harris,  J.  R.,  and  Michael  P.  Todaro.  1970.  "Migration,  unemployment,  and  development:  A two-sector  analysis."  American  Economic  Review  60:  126-142.
Katz,  E.,  and  Oded  Stark.  1986.  "Labor  migration  and  risk  aversion  in  less  developed  countries." Journal  of  Labor  Economics  4:  131-149.
Lauby,  Jennifer,  and  Oded  Stark.  1988.  "Individual  migration  as a family  strategy:  Young women  in  the  Philippines."  Population  Studies  42:  473-486.
Piore, Michael  J.  1979.  Birds  of  Passage: Migrant  Labor in Industrial  Societies.  Cambridge: Cambridge  University  Press.
Stark,  Oded. 1984.  "Migration  decision  making:  A review  article."  Journal  of  Development Economics  14: 251-259.
Taylor,  J.  Edward.  1986.  "Differential  migration,  networks,  information  and  risk,"  in  Oded Stark  (ed.),  Research  in  Human  Capital  and  Development,  Vol.  4,  Migration,  Human  Capital, and  Development.  Greenwich,  Conn.:  JAI  Press,  pp.  147-171.
 Todaro,  Michael  P. 1969.  "A model  of  labor  migration  and  urban  unemployment  in  less- developed countries."  The  American  Economic  Review  59:  138-48.
 Wallerstein,  Immanuel. 1974. TheModern  World  System,  Capitalist Agriculture  and  the  Origins  of the European  World  Economy  in  the  Sixteenth  Century.  New York:  Academic Press.

Kebijakan Migrasi di Indonesia


A. PENGERTIAN



Definisi Migrasi

Migrasi  sebagai  komponen  demografi  memiliki beragam  definisi. Secara  sederhana, migrasi diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk  menetap  dari  suatu  tempat  ke  tempat  lain  melalui  batas  politik/negara  ataupun  batas administrasi/batas bagian dari suatu negara. Sementara  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  merumuskan  bahwa  migrasi  penduduk sebagai suatu perpindahan tempat tinggal dari suatu unit administrasi ke  unit administrasi yang lain (United Nations 1970; 1 dalam Eridiana 2010). Masih  dalam  Eridiana  (2010),  Gould  dan  Prothero  (1975,41)  juga  menekankan  unsur  perpindahan  tempat  tinggal. Namun  menurut  mereka,  walaupun  seseorang telah  secara resmi pindah tempat, tetapi apabila ada niat sebelumnya untuk kembali ke  tempat  semula,  maka  harus  dianggap  sebagai  mobilitas  sirkuler,  bukan  sebagai  migrasi.

Di  Indonesia,  konsep  migrasi  yang  digunakan  dalam  sensus  1971  sama  dengan  sensus  1980.  Migrasi  adalah  perpindahan  seseorang  melewati  batas  propinsi menuju ke propinsi lain dalam jangka waktu 6 bulan atau lebih. Hampir  semua  migrasi  berkaitan  dengan  ruang  dan  waktu,  mengenai  keterkaitan  antara  ruang  dan  waktu  ini,  para  ahli  dihadapkan  kepada  suatu  kesulitan  untuk  menetapkannya.  Sehingga  definisi  terhadap  migrasi  oleh  beberapa  ahli  sering  dirasa adanya kekurangtepatan.

Menurut Tjiptoherijanto (2000) dalam Safrida (2008), migrasi merupakan  perpindahan  orang  dari  daerah  asal  ke  daerah  tujuan. Keputusan  migrasi  didasarkan  pada  perbandingan untung  rugi  yang berkaitan dengan  kedua daerah  tersebut.  Tujuan  utama  migrasi  adalah  meningkatkan  taraf hidup  migran  dan  keluarganya,  sehingga  umumnya  mereka  mencari  pekerjaan yang  dapat  memberikan pendapatan dan status sosial yang lebih tinggi di daerah tujuan.

Menurut  Osaki  (2003)  dalam  Safrida  (2008)  migrasi  penduduk  terjadi  karena adanya  keperluan tenaga  kerja  yang  bersifat  hakiki  (intrinsic  labor  demand) pada masyarakat industri modern. Pernyataan ini merupakan salah satu  aliran  yang  menganalisis keinginan  seseorang  melakukan  migrasi  yang  disebut  dengan dual  labor  market theory.  Menurut  aliran  ini,  migrasi  terjadi  karena  adanya keperluan tenaga kerja tertentu pada daerah atau negara yang telah maju.  Oleh karena itu  migrasi bukan hanya terjadi  karena push factors yang ada  pada  daerah asal tetapi juga adanya pull factors pada daerah tujuan.

Definisi Migrasi Internasional

Migrasi internasional sebagai salah satu jenis migrasi memiliki arti yakni  migrasi yang melewati batas politik antar negara. Batas politik ini sangat dinamis  tergantung kepada konstelasi politik global yang ada.

Studi  kepustakaan  mengenai migrasi  internasional  masih  sangat terbatas.  Dari  beberapa  literatur  diketahui  bahwa  suatu  negara  akan  mengalami  transisi  dalam  mobilitas  internasional,  dari  negara  pengekspor  tenaga  kerja  menjadi  tenaga  pengimpor  tenaga  kerja. Fields  (1993)  dalam  Ananta  menyimpulkan  bahwa  titik  balik  dalam  transisi  mobilitas  internasional  di  beberapa  negara  (Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan) berkaitan erat dengan tahap  pembangunan  ekonomi  mereka.  Pembangunan  ekonomi  mereka  berpangkal  dari  adanya industri ekspor yang memanfaatkan banyak tenaga kerja. Pasar domestik  mereka sangat terintegrasi, sehingga apa yang terjadi di satu pasar mempengaruhi  pasar lain. Berarti, keberhasilan dalam ekspor segera menyebar ke semua sektor. Faktor  institusional  yang  menyebabkan  perbedaan  besar  dalam  upah  juga  tidak  banyak  dijumpai.  Keberhasilan ekspor  ini  kemudian  menyerap  tenaga  kerja  dan  selanjutnya meningkatkan  penghasilan  mereka.  Titik  balik  kemudian  terjadi  ketika perekonomian mencapai full employment, yaitu ketika perekonomian mulai  sulit  mencari  tenaga  kerja.  Pada  saat  itu,  negara  ini  mulai  mencari  tenaga  kerja  dari negara lain.

Terkait  dengan  uraian  diatas,  Indonesia  sebagai  suatu  negara  dengan  tingkat  pertumbuhan  penduduk  dan  tingkat pengangguran  yang  tinggi,  memandang migrasi tenaga kerja ke luar negeri (migrasi internasional) merupakan  salah  satu  cara  untuk  mengatasi  permasalahan  tersebut. Migrasi  internasional merupakan proses perpindahan penduduk suatu negara ke negara lain. Umumnya  orang  melakukan  migrasi  ke  luar  negeri  untuk memperoleh  kesejahteraan  ekonomi  yang  lebih  baik  bagi  dirinya  dan  keluarganya. Suatu  fakta  memperlihatkan  bahwa  pengangguran,  upah  yang  rendah,  prospek karir  yang  kurang  menjanjikan  untuk  orang-orang  yang  berpendidikan  tinggi  dan resiko untuk  melakukan  investasi  di  dalam  negeri  merupakan  faktor-faktor  yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi ke luar negeri (Solimano 2001).

Arsjad, et al. (1992) dalam Ananta menyatakan bahwa Indonesia saat ini  sedang  dalam  tahap intensive  margin  of  labor  use dimana  transformasi  dalam  output berjalan lebih cepat daripada transformasi dalam employment. Tetapi pada  saat  ini  Indonesia  juga  masih  terus  memacu  ekspor  tenaga  kerja.  Di  pihak  lain,  Indonesia juga mengimpor tenaga kerja, terutama pada mutu yang relatif tinggi.

Syahriani  (2007)  dalam  Safrida  (2008) menyatakan  banyak  faktor  yang memotivasi  para  pekerja  Indonesia  memilih  bekerja  di  luar  negeri  diantaranya  peluang  kerja  yang  terbatas,  upah  yang  rendah,  dan  kemiskinan  mendorong  seseorang meninggalkan negaranya untuk mencari kehidupan  yang lebih baik di  negara  lain.  Para  migran ini  pergi  ke  negara  tujuan  yang  memiliki  tingkat  pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding negara asalnya.

Mantra  (1996) dalam  Ananta  menyatakan  pengiriman  tenaga  kerja Indonesia  keluar  negeri  memiliki  beberapa  makna  strategis  bagi  pembangunan  nasional,  yaitu  peningkatan  pendapatan  keluarga,  peningkatan  devisa  negara,  peningkatan  keterampilan  kerja,  dan  pengurangan  masalah  pengangguran. Akan  tetapi,  migrasi  tenaga  kerja  keluar  negeri  ini  bukan  tanpa  masalah.  Beberapa  masalah  yang  masih  terjadi  terkait  dengan  jumlah  tenaga  kerja  yang berangkat,  kualitas tenaga kerja, masalah sosial budaya, dan masalah kelembagaan.

B. KEBIJAKAN

Kebijakan Migrasi Internal

Beberapa  kebijakan  (formal)  yang  mengatur  tentang  migrasi  internal khususnya periode pasca kemerdekaan tentang ketransmigrasian telah  ditetapkan pemerintah untuk mengatasi masalah distribusi penduduk yang tidak merata dan membantu  pembangunan  daerah  yang  ditinggalkan  dan  daerah  tujuan  migrasi. Beberapa  kebijakan  tersebut  yaitu:  Undang-Undang  Nomor  29  Tahun  1960, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997, Undang-Undang  Nomor  32  tahun  2004,  Peraturan  Pemerintah  Nomor  2  Tahun 1999, dan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983.

Undang-Undang  Nomor  29  Tahun  1960  yang  mengatur  tentang  pokok pokok  penyelenggaraan  transmigrasi,  menitikberatkan  pada  jenis  penempatan transmigrasi secara teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya. Undang-undang  ini kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972.  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan pokok  transmigrasi menetapkan (Departemen Transmigrasi RI, 1986):
  1. Transmigrasi  merupakan  pemindahan  penduduk  dari  satu  daerah  ke  daerah  lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan  pembangunan  negara  atau  atas  alasan-alasan  yang  dipandang  perlu  oleh pemerintah.
  2. Fungsi  transmigrasi  adalah  sebagai  sarana  pembangunan  yang  penting  baik  ditinjau  dari  segi  pengembangan  proyek-proyek  pembangunan  nasional  maupun  regional.  Dalam  hal  ini,  transmigrasi  berarti  penyebaran  dan  penyediaan  tenaga  kerja  serta  ketrampilan,  baik  untuk  perluasan  produksi  maupun pembukaan lapangan kerja baru di daerah tujuan.

Tahun  1973  ditetapkan  Keputusan  Pemerintah  Nomor  2  Tahun  1973  tentang  penetapan  daerah  penempatan  transmigran  yaitu:  Lampung,  Sumatera  Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan  Timur.   Lembaga  penyelenggaraannya  adalah departemen  transmigrasi  dan  koperasi.  Undang-Undang  Nomor  15  Tahun  1997  tentang  ketransmigrasian  dan  Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi  menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan migran, maka para migran  memperoleh  hak-hak  sebagai  berikut:  hak  kepemilikan  tanah  atas  namanya;  rumah  tempat  tinggal  yang  layak  dengan  aksesibilitas  yang  memadai;  lahan  sebagai modal usaha atau sarana lainnya sebagai sarana penyediaan kesempatan kerja  sesuai  pola  pengembangannya;  bimbingan,  sarana  dan  prasarana  usaha;  sarana dan fasilitas sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan.

Selanjutnya  kebijakan  umum  penyelenggaraan  transmigrasi  juga  diatur  dalam GBHN 1983 antara lain :
  1. Transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran penduduk dan tenaga  kerja  serta  pembukaan  dan  pengembangan  daerah  produksi  baru,  terutama daerah pertanian dalam rangka pembangunan daerah, khususnya di luar Jawa dan Bali, yang dapat menjamin peningkatan taraf hidup para transmigran dan  masyarakat di sekitarnya.
  2. Untuk  menjamin  keberhasilan  pelaksanaan  transmigrasi,  yang  perlu ditingkatkan adalah jumlah  migran, koordinasi  dan  penyelenggaraan  migrasi yang  meliputi  penetapan  daerah  transmigrasi,  penyediaan  lahan  usaha  dan pemukiman,  penyelesaian  masalah  pemilikan  tanah,  prasarana  jalan  dan transportasi,  sarana  produksi,  dan  usaha  pengintegrasian  migran  dengan penduduk setempat.

Namun  demikian  hingga  periode  reformasi,  program  transmigrasi  masih  dinilai kurang berhasil. Penilaian ini didasarkan pada kondisi tidak terpenuhinya  asumsi  dasar  yang  dibuat  oleh  pengkritisi  masalah  transmigrasi.  Menurut  Tirtosudarmo  (1996)  ada  empat  asumsi  dasar  yang  mempertautkan  antara  kebijakan  pengerahan  mobilitas  penduduk  yang  dilakukan  secara  langsung  melalui transmigrasi.

Asumsi  Demographic  Fallacy,  mengasumsikan  pemindahan  penduduk  yang diatur pemerintah dapat mengurangi ketidakseimbangan distribusi penduduk  antara Jawa dan Luar Jawa. Asumsi ini tidak terbukti karena dengan transmigrasi  ternyata  tidak  secara  otomatis  menyeimbangkan  penduduk  Jawa  dan  luar  Jawa.

Pembangunan di Jawa yang relatif cepat menjadi magnit bagi migran luar Jawa,  sehingga  ketimpangan  jumlah  penduduk  tetap  terjadi  antara  Jawa  dan  luar  Jawa.  Asumsi  Geographic  Fallacy yang  mengasumsikan  bahwa  masih  banyak  tanah  luas di luar Jawa yang belum berpenghuni, sehingga sangat tepat jika penduduk  jika penduduk Jawa dipindahkan ke tempat kosong tersebut.  Asumsi  Economic  Fallacy yang  mengasumsikan  bahwa  melalui  pemindahan  penduduk  Jawa  yang  miskin  ke  luar  Jawa  untuk  bekerja  sebagai  petani pemilik dan buruh perkebunan pola PIR akan meningkatkan kesejahteraan  kaum  miskin  tersebut.   Asumsi  Political  Fallacy mengasumsikan  bahwa  terjadinya  keresahan  politik  di  daerah-daerah  padat  penduduk  di  Jawa  dapat  dihilangkan  dengan  memindahkan  penduduk  ke  luar  Jawa.   Namun  asumsi  ini  sulit dibuktikan kebenarannya. Penempatan transmigran dari Jawa justru banyak  menimbulkan  kecemburuan  sosial  penduduk  setempat,  sedangkan  di  Jawa  keresahan politik tetap saja terjadi.


Belajar  dari  pengalaman  kegagalan  hingga  periode  reformasi  yang  merupakan kebijakan langsung (direct policy) tersebut, maka dengan berlakunya  Undang-Undang  No.  32  Tahun  2004  dan  berlakunya  otonomi  daerah,  penyelenggaraan transmigrasi mengalami perubahan.  Transmigrasi yang semula merupakan  program  Top  Down,  bergeser  menjadi  Bottom  Up.   Daerah  diberi  keleluasaan  untuk  menentukan  pilihan  apakah  menerima  atau  menolak  program  transmigrasi di daerahnya. Dalam penerimaan calon transmigran dari daerah asal  harus  ada  kerja  sama  antara  daerah  penerima  dan  daerah  pengirim,  dengan  fasilitator pemerintah pusat.

Kebijakan Migrasi Internasional

Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk  mewujudkan  hak  dan  kesempatan  yang  sama  bagi  tenaga  kerja  untuk memperoleh  pekerjaan  dan  penghasilan  yang  layak,  yang  pelaksanaannya dilakukan  dengan  memperhatikan  harkat,  martabat,  hak  asasi  manusia,  dan perlindungan  hukum  serta  pemerataan  kesempatan  kerja  dan  penyediaan  tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional. Untuk  mewujudkan  kondisi  tersebut,  dalam  beberapa  tahun  terakhir pemerintah  (formal)  menetapkan  beberapa  kebijakan  yaitu:  Undang-Undang  RI Nomor  34  Tahun  2004,  Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  2004,  Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999, Peraturan Presiden R.I. No.81 Tahun 2006, dan  Peraturan  Menteri  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi  Republik  Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, menetapkan penempatan  tenaga  kerja  migran  merupakan  kegiatan  pelayanan  untuk mempertemukan  tenaga  kerja  migran  sesuai  bakat,  minat  dan  kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses  perekrutan, pengurusan  dokumen,  pendidikan  dan  pelatihan,  penampungan,  persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari  negara tujuan

Selanjutnya pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa  calon  tenaga  kerja  migran  yang  diizinkan  untuk  bekerja  ke  luar  negeri  harus memenuhi syarat minimal berumur 18 tahun dan berpendidikan sekurang - kurangnya lulus SLTP atau sederajat. Untuk calon tenaga kerja migran yang akan  bekerja pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun.

Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi  Penempatan  Tenaga  Kerja  Indonesia  (BPTKI).   BPTKI  adalah  lembaga  pemerintah non struktural yang melaksanakan sebagian kebijaksanaan pemerintah  dalam bidang penempatan tenaga kerja Indonesia. BPTKI diketuai oleh  menteri  bidang ketenagakerjaan, dan bertanggung jawab kepada presiden.

Peraturan Presiden R.I. Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Penempatan  dan  Perlindungan  Tenaga  Kerja  Indonesia  merumuskan  tentang  kemudahan  pelayanan yang dilakukan bersama-sama dengan instansi pemerintah terkait baik  Pemerintah  Pusat  maupun  Pemerintah  Daerah.   Bidang  tugas  masing-masing  instansi  pemerintah  meliputi  ketenagakerjaan,  keimigrasian,  verifikasi  dokumen  kependudukan,  kesehatan,  kepolisian  dan  bidang  lain  yang  dianggap  perlu. Sementara,  pos  pelayanan  akan  melakukan  pelayanan  untuk  memperlancar  pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja migran yang dikoordinasikan oleh Balai  Pelayanan  dan  Penempatan  dan  Perlindungan  tenaga  kerja  migran  (BP3TKI).   Pos  Pelayanan  dibentuk  dalam  rangka  kelancaran  pelaksanaan  pemberangkatan  dan  pemulangan  tenaga  kerja  migran  di  pintu-pintu  embarkasi  dan debarkasi (Depnakertrans, 2007).

Peraturan  Menteri  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi  Republik  Indonesia  Nomor:  PER.04/MEN/II/2005  tentang  penyelenggaraan  Pembekalan  Akhir  Pemberangkatan  tenaga  kerja  migran  ke  luar  negeri  memutuskan  bahwa  pembekalan akhir pemberangkatan yang selanjutnya disebut PAP adalah kegiatan  pemberian  informasi  kepada  calon  tenaga  kerja  migran  yang  akan  berangkat  bekerja ke luar negeri agar calon tenaga kerja migran mempunyai kesiapan mental  dan pengetahuan  untuk bekerja  diluar  negeri, memahami  hak  dan  kewajibannya  serta dapat mengatasi masalah yang dihadapi.

Untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan tenaga kerja migran, maka  Depnakertrans dalam tahun 2005 menetapkan program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan dana sebesar 324.86 milyar rupiah, yang lebih besar  dari  tahun  2004  yaitu  sebesar  133.31  milyar  rupiah,  artinya  mengalami kenaikan  sekitar  45  persen.   Program  ini  bertujuan  untuk  mendorong, memasyarakatkan dan meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pelatihan kerja, agar tersedia tenaga kerja yang berkualitas, produktif dan berdaya saing sehingga mampu  mengisi  tersebut,  lembaga  pelaksananya  adalah  Balai  Latihan  Kerja (BLK),  Loka  Latihan  Kerja  (LLK)  yang  berada  dibawah  kewenangan  pusat maupun daerah (Depnakertrans, 2005).

C. INSTRUMEN KEBIJAKAN MIGRASI

Instrumen Kebijakan Migrasi Internal


1.  Upah  Minimum  Regional.

Tujuan  seseorang  untuk  migrasi  adalah  untuk memperoleh kesejahteraan dan pendapatan yang lebih baik. Jika  upah minimum regional  atau  upah  minimum  propinsi  di  luar  Jawa  ditingkatkan  lebih  besar dibandingkan  dengan  peningkatan  upah  minimum  regional  di  Pulau  Jawa, diharapkan dapat mengurangi keinginan penduduk di luar Jawa untuk migrasi  ke Jawa  dan  meningkatkan  keinginan  penduduk  Jawa  untuk  migrasi  ke  luar  Jawa, sehingga distribusi penduduk di Indonesia lebih merata.

2.  Pengeluaran  Infrastruktur.

Pembangunan  infrastruktur  berfungsi  untuk menunjang  pertumbuhan  ekonomi  dan  penciptaan  lapangan  kerja, mengingat  fondasi  utama  untuk  mendorong  peningkatan laju  pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi jika ada peningkatan stok dan perbaikan kualitas infrastruktur.   Dampak  pembangunan  dan  perbaikan  infrastruktur diharapkan  dapat  menjadi  daya  tarik  bagi  penduduk  setempat  dan pendatang  untuk  meningkatkan  aktivitas  ekonominya,  sehingga  dapat memperluas  dan  membuka  kesempatan  kerja.   Jika  peningkatan  jumlah anggaran  pengeluaran  infrastruktur  di  luar  Jawa  lebih  besar  dibanding peningkatan jumlah anggaran pengeluaran infrastruktur di Jawa, diharapkan dapat meningkatkan jumlah migran dari Jawa ke luar Jawa, dan menurunkan jumlah migran dari luar Jawa untuk migrasi ke Jawa.

3.  Suku  Bunga
Suku  bunga  merupakan  variabel  penting  yang  mempengaruhi investasi.  Penurunan  suku  bunga  diharapkan  dapat  mendorong  perusahaan - perusahaan daerah untuk meningkatkan dan membuka investasi baru. Pembukaan dan peningkatan investasi tersebut, diharapkan juga dapat membuka kesempatan kerja di daerah bersangkutan, sehingga dapat menurunkan jumlah pengangguran dan  keinginan  migrasi  penduduk  ke  daerah  lain,  serta  menjadi  daya  tarik  bagi penduduk lain untuk migrasi ke daerah tersebut.

Instrumen Kebijakan Migrasi Internasional

Seperti halnya migrasi internal, instrumen kebijakan migrasi internasional  juga didasarkan pada tujuan kebijakan migrasi internasional yang telah ditetapkan  pemerintah. Tujuan umum kebijakan migrasi internasional adalah meningkatkan  kuantitas  dan  kualitas  tenaga  kerja  migran  internasional,  yang  tujuannya  mengatasi  tingginya  angka  pengangguran,  dan  menambah  devisa  negara. Instrumen  kebijakan  migrasi  internasional  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah nilai  tukar.  Instrumen  kebijakan  ini  disesuaikan  dengan  maksud  pemerintah  untuk  meningkatkan  kuantitas  tenaga  kerja  migran.   Nilai  tukar  berpengaruh  terhadap  upah  yang  akan  diterima  tenaga  kerja  migran  Indonesia  yang bekerja di luar negeri, karena upah yang mereka terima  dalam bentuk mata  uang asing sesuai dengan tempat kerja mereka.

            DAFTAR PUSTAKA
Ananta, Aris. Transisi Demografi Transisi Pendidikan dan Transisi Kesehatan di Indonesia. Jakata: Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. 1995
Ananta,  Aris,  Prijono  Tjiptoherijanto  dan  Chotib. Mobilitas  Penduduk  di Indonesia. Jakarta:  Kantor  Menteri  Negara  Kependudukan/BKKBN  dan
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1996
Lee,  Alexander. Gridlock:  Labor,  Migration,  and  Human  Trafficking  in  Dubai. Journal of International Affairs; Fall 2012; 66, 1; ProQuest pg. 238
Lee, Everett S. A Theory of Migration. University of Pennsylvania. Demography, Vol. 3, No. 1. (1966), pp. 47-57.
Martin,  Philip. Sustainable  Labor  Migration  Policies  in  a  Globalizing  World.Universityof California, Davis. 2003.
Philip,  Martin  and  Jonas  Widgren.  International  Migration:  Facing  the  Challenge. Population Bulletin; Mar 2002; 57, 1; ProQuest pg.